Bioetanol

Toyota dan Pertamina Bangun Pabrik Bioetanol Rp2,5 Triliun, Dorong Lampung Jadi Pusat Energi Hijau Nasional

Toyota dan Pertamina Bangun Pabrik Bioetanol Rp2,5 Triliun, Dorong Lampung Jadi Pusat Energi Hijau Nasional
Toyota dan Pertamina Bangun Pabrik Bioetanol Rp2,5 Triliun, Dorong Lampung Jadi Pusat Energi Hijau Nasional

JAKARTA - Transformasi energi bersih di Indonesia kembali menunjukkan langkah konkret dengan hadirnya kolaborasi besar antara Toyota dan Pertamina. Kedua perusahaan ini siap membangun pabrik bioetanol bernilai investasi sekitar Rp2,5 triliun di Provinsi Lampung, menjadikan wilayah tersebut sebagai pusat pengembangan bahan bakar hijau nasional.

Langkah strategis ini mendapat dukungan penuh dari pemerintah melalui Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala BKPM, Todotua Pasaribu, menegaskan bahwa proyek ini menjadi bagian penting dari roadmap hilirisasi yang berfokus pada energi terbarukan.

Sinergi Toyota dan Pertamina dalam Mendorong Energi Terbarukan

Rencana besar pembangunan pabrik bioetanol ini bermula dari pertemuan antara Todotua Pasaribu dan CEO Asia Region Toyota Motor Corporation, Masahiko Maeda. Dalam pertemuan itu, keduanya menyepakati kerja sama strategis untuk memproduksi bioetanol berbasis bahan baku lokal dan berkelanjutan.

Toyota melalui proyek ini akan menggandeng PT Pertamina New Renewable Energy (NRE) sebagai mitra utama. Kolaborasi tersebut diharapkan mampu mendorong realisasi energi hijau yang efisien sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok energi terbarukan global.

Pertemuan lanjutan dilakukan di fasilitas riset Research Association of Biomass Innovation for Next Generation Automobile Fuels (RABIT) di Fukushima, Jepang. Di sana, Todotua dan Maeda membahas teknologi produksi bioetanol generasi kedua yang memanfaatkan biomassa non-pangan.

Berdasarkan peta jalan hilirisasi strategis yang disusun Kementerian Investasi, Lampung ditetapkan sebagai kawasan prioritas untuk pengembangan industri bioetanol nasional. Wilayah ini dinilai ideal karena memiliki ketersediaan bahan baku seperti tebu, singkong, dan sorgum dalam jumlah besar.

“Sebagai pioneer project, tadi sudah didiskusikan akan bekerja sama dengan Pertamina NRE di Lampung,” ujar Todotua Pasaribu. Ia menegaskan, kolaborasi ini bukan hanya investasi, melainkan juga gerakan ekonomi yang memberdayakan masyarakat lokal.

Dorong Ekonomi Daerah dan Pemberdayaan Petani Lokal

Dalam proyek ini, pasokan bahan baku tidak hanya berasal dari perusahaan besar, tetapi juga melibatkan petani dan koperasi setempat. Pendekatan ini akan memberikan dampak ekonomi langsung bagi masyarakat di sekitar lokasi pabrik.

“Bahan bakunya juga melibatkan petani dan koperasi tani setempat, sehingga proyek ini dapat menggerakkan perekonomian daerah,” jelas Todotua. Dengan demikian, kehadiran pabrik bioetanol bukan hanya tentang energi bersih, tetapi juga kesejahteraan masyarakat pedesaan.

Selain itu, pasokan energi untuk pabrik akan diintegrasikan dengan fasilitas geothermal dan hidrogen milik Pertamina. Integrasi tersebut akan menciptakan rantai energi yang lebih efisien dan ramah lingkungan di Lampung.

Sepulang dari Tokyo, Todotua menyampaikan bahwa Toyota dan Pertamina segera melakukan studi bersama dan kunjungan lapangan ke lokasi pembangunan pabrik. Kedua pihak menargetkan perusahaan patungan (joint venture) dapat terbentuk pada awal tahun 2026.

“Dalam rangka mendukung kebijakan E10, saat ini tengah dikaji rencana pengembangan fasilitas dengan kapasitas produksi sebesar 60.000 kiloliter per tahun dan nilai investasi sekitar Rp2,5 triliun,” kata Todotua. Ia berharap, investasi ini tidak hanya memenuhi kebutuhan domestik tetapi juga membuka peluang ekspor.

Langkah Menuju Transisi Energi Hijau Nasional

Pemerintah menaruh harapan besar pada proyek ini untuk memperkuat kemandirian energi nasional. Todotua menyebut bahwa kebijakan mandatory blending bioetanol sebesar 10 persen (E10) dalam bahan bakar akan mulai diterapkan pada tahun 2027.

“Sebagai langkah strategis menekan impor BBM, kami telah menetapkan kebijakan E10 yang akan diberlakukan pada 2027,” ungkapnya. Ia menilai kerja sama dengan Toyota menjadi peluang besar untuk menjadikan Indonesia sebagai basis produksi bioetanol di Asia Tenggara.

Kebutuhan bahan bakar di dalam negeri saat ini mencapai lebih dari 40 juta kiloliter per tahun. Dengan penerapan E10, Indonesia membutuhkan sekitar 4 juta kiloliter bioetanol untuk memenuhi kebutuhan nasional di tahun 2027.

Oleh sebab itu, pembangunan fasilitas pendukung seperti pabrik bioetanol harus dimulai sejak sekarang. “Peluang inilah yang ditangkap oleh Toyota yang juga telah mengembangkan kendaraan berbahan bakar bioetanol di berbagai negara,” kata Todotua menambahkan.

Toyota diketahui telah memiliki teknologi mesin kendaraan yang efisien dan ramah lingkungan melalui penggunaan bahan bakar E20. Inovasi tersebut telah diujicobakan pada ajang balap Super Formula, membuktikan performa bahan bakar hijau dapat seimbang dengan performa tinggi kendaraan modern.

Kolaborasi Toyota dengan lembaga riset RABIT di Jepang juga terus mengembangkan bioetanol generasi kedua. Bahan baku yang digunakan berasal dari limbah pertanian dan tanaman non-pangan, yang menjadikan teknologi ini berpotensi besar diterapkan di Indonesia.

“Teknologi pabrik bioetanol generasi kedua ini dapat memanfaatkan berbagai macam limbah pertanian atau multi feedstock, sehingga sangat cocok dengan kondisi Indonesia,” tutur Todotua. Ia menambahkan, Indonesia memiliki kekayaan sumber biomassa seperti tebu, padi, singkong, kelapa sawit, hingga aren.

Peluang Besar bagi Indonesia Menjadi Pemain Energi Hijau Dunia

Kerja sama strategis antara Toyota dan Pertamina ini bukan hanya simbol investasi, melainkan wujud nyata keseriusan Indonesia dalam transisi menuju ekonomi hijau. Dengan dukungan teknologi canggih dan keterlibatan masyarakat lokal, Lampung berpotensi menjadi model pengembangan industri bioetanol nasional.

Pemerintah memandang langkah ini sebagai momentum penting mempercepat pencapaian target net zero emission. Kolaborasi lintas sektor yang menggabungkan industri otomotif, energi, dan pertanian diharapkan mampu memperkuat ketahanan energi nasional dalam jangka panjang.

Selain manfaat ekonomi dan lingkungan, pembangunan pabrik ini juga akan menciptakan lapangan kerja baru bagi ribuan masyarakat di sekitar wilayah Lampung. Sektor pendukung seperti transportasi, logistik, hingga penyedia bahan baku pertanian juga akan ikut terdorong tumbuh.

Toyota menilai bahwa Indonesia memiliki potensi luar biasa sebagai pusat produksi bioetanol di kawasan Asia. Dukungan infrastruktur, kebijakan pemerintah, dan potensi sumber daya alam yang melimpah menjadi kombinasi ideal untuk mengembangkan energi hijau berkelanjutan.

Todotua menyebut, pemerintah akan terus mengawal proyek ini agar berjalan sesuai jadwal dan memberikan dampak optimal bagi perekonomian nasional. “Kami ingin memastikan investasi ini bukan hanya sekadar angka, tetapi membawa manfaat nyata bagi bangsa,” ujarnya.

Ke depan, kerja sama semacam ini diharapkan menjadi katalis bagi masuknya lebih banyak investor asing ke sektor energi terbarukan. Dengan arah kebijakan yang semakin jelas, Indonesia berpotensi menjadi pemain penting dalam industri bioenergi global.

Sinergi Menuju Indonesia yang Lebih Mandiri Energi

Pembangunan pabrik bioetanol di Lampung menandai babak baru bagi perjalanan Indonesia dalam kemandirian energi hijau. Dukungan pemerintah, kolaborasi dunia industri, dan partisipasi petani lokal menjadi pilar utama yang akan memperkuat keberhasilan proyek ini.

Investasi sebesar Rp2,5 triliun bukan hanya soal nilai ekonomi, tetapi simbol komitmen nasional terhadap masa depan yang lebih bersih dan berkelanjutan. Indonesia kini berada di jalur yang tepat menuju transformasi energi yang tidak hanya mendukung pertumbuhan, tetapi juga menjaga bumi bagi generasi mendatang.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index