JAKARTA - Pembangunan infrastruktur strategis kembali mendapat dukungan dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Salah satu bentuk kontribusi nyata tersebut adalah melalui penyewaan lahan milik Kesultanan yang dikenal sebagai Sultan Ground, untuk pembangunan dua proyek jalan tol penting di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Kementerian Pekerjaan Umum (PU) menyampaikan bahwa lahan yang disewakan mencapai luas 320.000 meter persegi. Lahan tersebut akan dimanfaatkan untuk pembangunan Jalan Tol Yogyakarta–Bawen dan Jalan Tol Solo–Yogyakarta–Kulon Progo. Upaya ini menunjukkan sinergi positif antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan kesultanan dalam mendukung percepatan pembangunan nasional.
Biaya Sewa Diatur Selama Masa Konsesi Proyek
Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian PU, Roy Rizali Anwar, menjelaskan bahwa total biaya sewa yang disepakati untuk penggunaan lahan Sultan Ground tersebut mencapai Rp160 miliar. Jumlah itu dihitung untuk masa konsesi selama 40 tahun.
"Kurang lebih (biaya sewanya) Rp160 miliar untuk 320.000 meter selama konsesi, ya," ujar Roy saat ditemui di kantor Kementerian PU, Jakarta.
Roy menegaskan bahwa tanggung jawab pembayaran biaya sewa berada di tangan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) yang mengelola proyek. Dalam hal ini, proyek jalan tol tersebut digarap oleh dua BUJT, yakni PT Jasamarga Jogja Bawen dan PT Jasamarga Jogja Solo.
Langkah ini sejalan dengan skema pembiayaan infrastruktur jalan tol yang umumnya melibatkan BUJT dalam pembebasan lahan, pembangunan fisik, serta pengoperasian jalan tol.
Biaya Investasi Akan Dikompensasi Dalam Skema Tarif
Lebih lanjut, Roy Rizali menjelaskan bahwa biaya sewa lahan Sultan Ground akan diperhitungkan dalam pengenaan tarif tol serta pengaturan konsesi ke depan. Hal ini mencerminkan prinsip pengembalian investasi yang adil bagi pelaku usaha jalan tol.
“Sebagai insentif, biaya investasi tersebut bakal dikalkulasikan kepada pengenaan tarif tol serta perpanjangan konsesi pada BUJT kedua ruas tersebut,” kata Roy.
Dengan skema ini, BUJT mendapatkan kejelasan dalam penghitungan return of investment (ROI), sementara masyarakat tetap bisa memperoleh manfaat dari keberadaan infrastruktur jalan tol yang mempermudah mobilitas dan distribusi barang maupun jasa.
Serat Kekancingan Jadi Dasar Kerja Sama Resmi
Kerja sama antara pihak Kesultanan Ngayogyakarta, Kementerian PU, dan BUJT telah diformalkan melalui dokumen resmi yang dikenal dengan nama Serat Kekancingan. Dokumen tersebut dikeluarkan langsung oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X dan menjadi simbol penguatan kolaborasi antara unsur adat, pemerintah, dan dunia usaha.
Serat Kekancingan ini mengatur kesepakatan pemanfaatan tanah milik Kesultanan untuk kepentingan pembangunan jalan tol di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Kehadiran dokumen tersebut menjadi fondasi hukum yang kuat dan memberikan kepastian kepada seluruh pihak terkait.
Langkah Keraton dalam mendukung pembangunan nasional melalui pengelolaan aset tanah ini mendapat apresiasi dari berbagai kalangan. Sinergi semacam ini diharapkan menjadi contoh kolaborasi produktif antara lembaga adat dan institusi negara.
Rincian Penggunaan Lahan Untuk Tiap Proyek Tol
Dari total 320.000 meter persegi lahan Sultan Ground yang disewakan, sebagian besar dialokasikan untuk pembangunan Jalan Tol Solo–Yogyakarta–Kulon Progo. Rinciannya, lahan seluas 245.302 meter persegi akan dimanfaatkan untuk proyek ini, yang terdiri dari 117 bidang tanah desa dan 17 bidang tanah Sultan Ground.
Sementara itu, untuk proyek Jalan Tol Yogyakarta–Bawen, dialokasikan lahan seluas 75.440,75 meter persegi. Lahan tersebut mencakup 90 bidang tanah desa, di mana 8 bidang di antaranya merupakan bagian dari tanah Sultan Ground.
Distribusi penggunaan lahan ini memperlihatkan bahwa pembangunan dua ruas tol tersebut telah dirancang dengan mempertimbangkan pemanfaatan aset secara optimal dan tetap menghargai hak-hak kepemilikan tanah di wilayah tersebut.
Dengan penyewaan lahan Sultan Ground, pelaksanaan proyek tol strategis ini diharapkan akan berjalan lancar sesuai target. Pemerintah pun terus memastikan bahwa proses administrasi, teknis, hingga sosial dapat diselesaikan dengan prinsip keberlanjutan dan inklusivitas.