JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan menerapkan kebijakan baru dalam skema penjaminan kredit yang bertujuan memperkuat pengelolaan risiko di sektor jasa keuangan. Aturan ini tercantum dalam Peraturan OJK (POJK) tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Penjamin yang akan mulai berlaku pada November 2025. Lewat regulasi tersebut, OJK membatasi batas maksimal penjaminan risiko kredit oleh lembaga penjamin hanya sebesar 75 persen dari total nilai kredit.
Kebijakan ini mengharuskan lembaga pemberi kredit, seperti bank, untuk menanggung sedikitnya 25 persen dari risiko kredit yang disalurkan. Ini menandai perubahan penting, mengingat sebelumnya penjamin kerap menanggung hampir seluruh risiko kredit, terutama pada segmen-segmen pembiayaan seperti usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Dorongan untuk Tanggung Jawab Kredit yang Lebih Seimbang
OJK menilai bahwa pola lama yang terlalu mengandalkan lembaga penjamin justru membuat pemberi kredit kurang bertanggung jawab terhadap risiko. Dalam skema baru ini, setiap pihak diharapkan turut berperan aktif dan proporsional dalam pengelolaan risiko kredit. Hal ini dipandang sebagai langkah penting demi menciptakan sistem keuangan yang lebih kokoh dan berkelanjutan.
Trioksa Siahaan, Senior Vice President dari Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), menyatakan bahwa batasan ini sejatinya mencerminkan kondisi di lapangan yang selama ini memang sudah berjalan di kisaran angka tersebut. “Memang selama ini penjamin menanggung 70 persen–75 persen, sementara ada risiko sendiri sebesar 25 persen–30 persen,” jelasnya.
Namun, menurutnya, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada bagaimana lembaga penjamin menyikapi klaim yang muncul. Respons cepat dan tanpa hambatan dari pihak penjamin menjadi kunci kepercayaan pemberi kredit terhadap skema baru ini.
Efisiensi Skema Penjaminan dan Tantangan di Lapangan
Menurut Trioksa, skema penjaminan kredit bisa menjadi jalan tengah yang efisien, terlebih di tengah keterbatasan agunan tetap yang bisa diberikan oleh pelaku UMKM. Ia menyampaikan bahwa banyak pelaku usaha tidak memiliki aset fisik memadai untuk dijadikan jaminan, sehingga penjaminan kredit menjadi opsi penting agar tetap dapat mengakses pembiayaan.
Namun tantangannya tetap ada, terutama soal efektivitas dan kecepatan dalam pemrosesan klaim penjaminan. Jika tidak ditangani dengan optimal, akan terjadi hambatan dalam penyaluran kredit yang pada akhirnya berdampak pada produktivitas ekonomi, terutama di sektor UMKM yang mengandalkan akses pembiayaan fleksibel.
Di sinilah pentingnya koordinasi erat antara lembaga penjamin dan lembaga keuangan agar sistem ini dapat berjalan selaras dan saling menguntungkan.
Penyesuaian Strategi Kredit oleh Pelaku Industri Perbankan
Seiring dengan perubahan regulasi ini, pelaku industri perbankan mulai menyesuaikan pendekatannya terhadap risiko kredit. Presiden Direktur CIMB Niaga, Lani Darmawan, menekankan bahwa pendekatan internal kini lebih ditekankan dibanding sekadar mengandalkan proteksi asuransi atau penjaminan.
“Untuk risiko kredit kami lebih menekankan kepada kualitas proses underwriting dibandingkan dengan coverage asuransi,” ujarnya.
Strategi ini menunjukkan hasil positif. Hingga kuartal pertama 2025, CIMB Niaga berhasil menekan rasio Loan at Risk (LaR) menjadi 8,6 persen dari sebelumnya 10,9 persen. Non-performing loan (NPL) mereka pun menurun dari 2,1 persen menjadi 1,9 persen. Ini membuktikan bahwa penguatan seleksi kredit sejak awal lebih efektif dalam menjaga kualitas portofolio kredit.
Kesiapan Perbankan Menyambut Aturan Baru
Bank Central Asia (BCA) juga menunjukkan kesiapan dalam menyikapi kebijakan ini. EVP Corporate Communication and Social Responsibility BCA, Hera F. Haryn, mengatakan bahwa BCA secara aktif memantau arah regulasi dan senantiasa selaras dengan ketentuan pemerintah dan regulator.
“Sebagai perbankan nasional, BCA senantiasa mencermati dan selaras dengan kebijakan pemerintah, regulator, dan otoritas perbankan, termasuk POJK Nomor 11 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Penjamin,” jelasnya.
Lebih lanjut, Hera menambahkan bahwa komunikasi dengan seluruh pemangku kepentingan terus dijalin secara intensif guna memastikan implementasi kebijakan ini berjalan tepat sasaran. Di sisi lain, BCA tetap menjaga prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit dan kedisiplinan dalam manajemen risiko, sebagaimana menjadi prinsip dasar operasional perbankan.
“BCA berkomitmen menyalurkan kredit secara pruden dan disiplin dalam manajemen risiko,” tambah Hera.
Peran Strategis Regulasi dalam Menjaga Stabilitas Sektor Keuangan
Dengan pemberlakuan ketentuan baru ini, perbankan dituntut untuk semakin memperkuat fungsi analisis kredit sejak proses awal. Selain itu, lembaga penjamin diharapkan dapat meningkatkan kapasitas dalam menangani klaim secara efisien, sehingga kepercayaan antara para pelaku keuangan tetap terjaga.
POJK ini tidak hanya sebatas pembatasan kewenangan, namun juga menjadi bentuk penguatan tanggung jawab kolektif antara lembaga keuangan dan penjamin kredit. Regulasi tersebut membuka peluang terciptanya mekanisme penjaminan yang lebih sehat, dengan pembagian beban risiko yang lebih seimbang dan berkelanjutan bagi ekosistem keuangan secara keseluruhan.