JAKARTA - Pada pekan terakhir Februari 2025, pasar saham Indonesia mencatat pergerakan harga saham yang cukup menarik perhatian, terutama pada saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA). Periode perdagangan 24-28 Februari tersebut berakhir dengan penurunan harga saham BBCA sebesar 6,13% dan ditutup pada Rp 8.425, level terendah dalam setahun terakhir. Penutupan ini juga diiringi oleh aksi jual bersih oleh investor asing sebesar Rp 383 miliar pada hari terakhir, dengan total aksi jual bersih sepekan mencapai Rp 1,8 triliun.
Kondisi ini membuat rasio price to book value (PBV) BBCA kini berada pada posisi 3,95 kali, masih di bawah rata-rata PBV selama tiga tahun terakhir yang mencapai 4,72 kali. Adapun price earning ratio (PER) BBCA tercatat 18,94 kali, dibandingkan dengan rata-rata PE selama tiga tahun terakhir sebesar 26,6 kali. Penurunan harga saham BBCA ini terjadi bersamaan dengan melemahnya indeks harga saham gabungan (IHSG) yang turun sebesar 3,31% dan ditutup pada level 6.270,60 pada akhir minggu tersebut. Investor asing secara keseluruhan mencatatkan penjualan bersih sebesar Rp 2,91 triliun.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk, Jahja Setiaatmadja, memberikan pandangan yang menarik seputar kondisi ini. “Karena kalau kita lihat secara umum harga-harga saham sedang turun cukup besar. BCA juga termasuk,” ungkapnya. Jahja melihat fenomena penurunan ini sebagai bagian dari dinamika pasar yang wajar. Dirinya menguraikan bahwa di setiap negara dan bursa saham, ada aliran investor yang berpijak pada analisis teknikal dan fundamental.
Menurut Jahja, bagi para analis teknikal, pergerakan saham BCA ini dipandang melalui angka-angka level support dan resistance. Mereka cenderung melakukan aksi jual saat harga mencetak keuntungan (take profit) dan membeli ketika harga turun. Di sisi lain, analis fundamental lebih fokus pada aspek mendasar perusahaan seperti kinerja finansial dan strategi bisnis. “Kalau turunnya harga saham itu karena fundamentalnya, misalnya NPL terlalu melambung tinggi, ini lumayan fundamentalis untuk bisa dilakukan koreksi-koreksi pada manajemen,” katanya.
Jahja juga menekankan pentingnya memonitor kondisi makroekonomi dan situasi global yang tidak bisa dihindari serta punya dampak signifikan terhadap saham. “Di samping itu ada yang dipengaruhi keadaan global dan makroekonomi. Ini sesuatu yang unavoidable. Paling ekstrem dan paling nyata,” tambahnya. Jahja melihat kondisi saat ini sebagai peluang bagi investor yang jeli untuk masuk ke saham dengan fundamental yang kuat. “Nah ini sangat prinsipil,” pungkasnya, mengindikasikan bahwa momen penurunan bisa dimanfaatkan sebagai waktu yang tepat untuk membeli saham potensial dengan harga terdiskon.
Dalam konteks ini, pentingnya menilai kinerja perusahaan dan strategi manajemen menjadi lebih krusial. Saat harga saham berada di titik rendah, investor yang mampu menganalisis bidang fundamental dengan baik cenderung lebih optimis dalam jangka panjang. Kondisi pasar yang fluktuatif, seperti yang terjadi saat ini, membuka peluang bagi investor yang berani mengambil risiko dan memiliki visi terhadap stabilitas dan prospek masa depan perusahaan seperti BCA.
Fenomena yang terjadi pada saham BCA sejatinya menggambarkan dinamika pasar saham secara umum. Dalam jangka pendek, sentimen negatif dan tekanan jual dapat menekan harga, namun bagi investor jangka panjang yang berorientasi pada nilai, periode seperti ini bisa menjadi saat yang tepat untuk berinvestasi. Bagi investor yang ingin mengambil langkah strategis, momen seperti ini adalah waktu untuk melakukan riset mendalam dan memanfaatkan kemungkinan apresiasi harga di masa depan ketika kondisi pasar dan ekonomi kembali pulih.