JAKARTA - Industri asuransi umum Indonesia masih menunjukkan tren pertumbuhan yang menjanjikan meskipun sejumlah tantangan menghadang di sepanjang 2025. Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mencatat bahwa secara agregat, industri ini tetap mengalami pertumbuhan positif sebanyak enam persen secara tahunan (year-on-year/yoy), dengan total nilai mencapai Rp1.929 triliun per September 2024.
Hal ini mencerminkan bahwa di tengah ketidakpastian ekonomi global dan transisi pemerintahan nasional, sektor asuransi umum tetap memiliki fondasi yang kuat dan potensi yang besar untuk terus berkembang.
“Dukungan permodalan pada asuransi komersial masih solid walau terdapat tren penurunan,” ujar Wakil Ketua AAUI Bidang Kerja Sama Antar Lembaga, Muhammad Iqbal, dalam seminar Indonesia Economy & Financial Outlook 2025 yang digelar di Jakarta.
Tantangan Inklusi dan Literasi Masih Mengemuka
Salah satu perhatian utama dalam pengembangan industri asuransi umum di Indonesia saat ini adalah kesenjangan yang masih lebar antara tingkat inklusi dan literasi keuangan.
Iqbal menyoroti bahwa meski pemahaman masyarakat terhadap produk asuransi sudah meningkat, hal tersebut belum sepenuhnya diikuti oleh keputusan untuk membeli atau menggunakan produk asuransi. “Selisih tingkat inklusi dan literasi masih besar yang mengindikasikan masyarakat yang telah mengetahui mengenai produk asuransi belum cukup confident untuk memiliki produk asuransi,” ucapnya.
Selain itu, ia menambahkan bahwa penetrasi dan densitas asuransi di Indonesia masih tergolong rendah. Bahkan, jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia, Indonesia masih tertinggal dalam hal menjadikan asuransi sebagai bagian dari kebutuhan utama.
“Menandakan proteksi atau asuransi di Indonesia belum menjadi prioritas atau kebutuhan,” kata Iqbal dalam sesi yang bertajuk Prospects of Economy, Capital Market, Banking, Multifinance, and Insurance Amid National Government Transition: Stronger Together.
Perkembangan Digitalisasi dan Inovasi Produk
Perubahan lanskap bisnis yang makin digital turut membawa tantangan baru bagi industri asuransi umum. Iqbal menyebutkan bahwa salah satu hambatan terbesar adalah bagaimana perusahaan asuransi mampu terus berinovasi dalam hal produk, pelayanan, serta sistem keamanan digital.
Selain itu, kompetisi antarperusahaan asuransi juga semakin ketat, menuntut adanya analisis risiko yang lebih tajam dan strategi penyesuaian yang tepat agar tetap relevan. Tidak hanya dari sisi internal, tetapi juga berkaitan dengan perkembangan tren industri global yang kini mulai mengarah ke ekosistem bisnis hijau dan implementasi prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG).
Ia menekankan bahwa implementasi ESG yang semakin kuat di antara pelaku industri menambah dimensi baru dalam tata kelola asuransi, baik dari sisi operasional maupun strategi pemasaran produk. “Tantangan lainnya yakni persaingan dan analisis risiko,” ungkapnya.
Iqbal juga menggarisbawahi bahwa industri perlu mengantisipasi tantangan dari aspek permodalan, termasuk dalam memastikan keberlanjutan usaha di tengah tekanan perubahan regulasi dan kebutuhan pasar yang dinamis.
Faktor Pendukung Tetap Menjadi Penopang Optimisme
Di balik berbagai tantangan tersebut, Iqbal juga menyoroti beberapa faktor positif yang bisa menjadi motor penggerak pertumbuhan industri asuransi umum dan reasuransi.
Pertama adalah kondisi kesehatan keuangan yang masih terjaga baik pada perusahaan asuransi maupun reasuransi, baik yang berbasis konvensional maupun syariah. Hal ini menjadi indikator penting bahwa industri masih memiliki daya tahan dan ruang untuk bertumbuh.
Selanjutnya, tata kelola perusahaan yang baik, termasuk pemisahan unit syariah, juga menjadi landasan penting dalam penguatan sektor ini. Iqbal menyebut panduan yang jelas mengenai asuransi kredit dan penjaminan serta perlindungan konsumen turut menjadi bagian dari ekosistem penunjang yang harus terus diperkuat.
Tidak kalah penting adalah dukungan regulasi yang mengarah pada penyederhanaan perizinan dan manajemen produk. “Kemudian perizinan untuk perusahaan asuransi dan reasuransi dan panduan manajemen produk termasuk penyederhanaan dalam pengajuan,” pungkasnya.
Langkah-langkah tersebut diyakini dapat membantu perusahaan asuransi umum dalam mempercepat adaptasi terhadap perubahan, sekaligus menjangkau lebih banyak masyarakat melalui produk-produk yang relevan dan mudah diakses.
Perhatian Terhadap Model Bisnis dan Efisiensi
Diskusi seputar masa depan industri asuransi umum tidak lepas dari perhatian legislatif, khususnya Komisi VI DPR RI yang terus memantau arah konsolidasi dan transformasi yang dilakukan oleh para pelaku industri.
Dalam forum yang sama, anggota Komisi VI DPR Ahmad Labib mengingatkan pentingnya menghindari model konglomerasi yang sebelumnya kerap diterapkan oleh sejumlah perusahaan pelat merah. Menurutnya, pendekatan tersebut justru menjadi salah satu sumber inefisiensi pada masa lalu.
“Tolong dalam proses konsolidasi dan transformasi BUMN, Danantara menghindari betul model konglomerasi yang justru meningkatkan inefisiensi,” ujar Labib.
Ia menyebut bahwa pembentukan anak usaha seharusnya memiliki dasar kebutuhan bisnis yang kuat, bukan sekadar formalitas organisasi. “Nah, kita ini banyak sekali anak-anak perusahaan [BUMN] itu yang sebelumnya praktik konglomerasi tetapi justru menjadi celah-celah inefisiensi dan kebocoran,” ucapnya lebih lanjut.
Pandangan tersebut sejalan dengan harapan agar industri asuransi umum di Indonesia tidak hanya bertahan, tetapi juga mampu bertransformasi menjadi sektor yang tangguh, efisien, dan inklusif dalam jangka panjang.