JAKARTA - PT Vale Indonesia Tbk (INCO) menegaskan komitmennya dalam membangun smelter terintegrasi dengan tambang yang sepenuhnya memanfaatkan energi hijau atau zero emissions. Langkah ini menjadi salah satu terobosan penting dalam pengolahan nikel tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia.
Presiden Direktur Vale Indonesia, Febriany Eddy, menegaskan bahwa proyek nikel yang digarap perusahaan akan didesain dengan prinsip net zero emission sejak hari pertama beroperasi. "Kita ingin menyampaikan pesan bahwa nikel adalah solusi terhadap isu dekarbonisasi dunia, maka tentu pemprosesan dan pengolahan harus rendah karbon. Nah, kita akan coba aim dan commit kalau bisa net zero dari day one. Ini kalau jadi, ini ambisi besar kita, tapi kalau ini jadi akan menjadi role model yang bagus sekali," ujar Febriany.
Dalam proses produksi, sekitar dua per tiga kebutuhan energi akan bersumber dari mekanisme sirkular yang disebut waste heat recovery. Mekanisme ini memungkinkan pemanfaatan panas yang dihasilkan dalam proses produksi untuk dikembalikan dan digunakan kembali dalam sistem. "Di dalam pabrik HPAL nanti, bagian dari HPAL itu ada acid plant yang menghasilkan steam. Uap ini bisa digunakan untuk menghasilkan listrik, dan listrik inilah yang nantinya akan memenuhi sekitar dua per tiga dari kebutuhan energi yang dibutuhkan," jelasnya.
Sementara sepertiga kebutuhan energi lainnya akan dipenuhi dari sumber energi non-fosil seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan biomassa. Vale telah mengamankan lahan yang cukup untuk pengembangan PLTS guna mendukung operasional pabrik. "Lahannya kita sudah beli dan kita sudah sampaikan ke partner bahwa ada ruang yang cukup untuk melakukan itu (pemanfaatan PLTS). Selain itu, kita juga akan menggunakan biomassa sebagai tambahan sumber energi hijau," tambah Febriany.
Vale saat ini tengah mengerjakan tiga proyek besar dalam pengembangan industri nikel di Indonesia. Pertama, Indonesia Growth Project (IGP) Pomalaa di Kolaka, Sulawesi Tenggara, yang mencakup pembangunan smelter berbasis High-Pressure Acid Leach (HPAL) dan tambang nikel. Proyek ini dikerjakan bersama Zhejiang Huayou Cobalt Co., Ltd (Huayou) dengan total investasi mencapai Rp67,5 triliun. Peletakan batu pertama proyek ini telah dilakukan pada 27 November 2022 dan akan beroperasi di bawah PT Kolaka Nickel Indonesia (KNI), perusahaan patungan antara Vale dan Huayou.
Kedua, IGP Morowali di Sulawesi Tengah, yang melibatkan pembangunan smelter berbasis teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) dan tambang nikel. Proyek ini dikerjakan bersama dua perusahaan asal Tiongkok, Taiyuan Iron and Steel (Group) Co., Ltd (Tisco) dan Shandong Xinhai Technology Co., Ltd (Xinhai). Smelter ini ditargetkan memproduksi 73.000 metrik ton nikel per tahun dan akan didukung oleh tiga pembangkit listrik berbasis gas alam. Lokasi tambang berada di Kecamatan Bungku Timur dan Bahodopi, sementara fasilitas pengolahan berlokasi di Desa Sambalagi, Kecamatan Bungku Pesisir.
Ketiga, smelter HPAL di Blok Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Smelter ini dirancang untuk memproduksi 60.000 ton nikel dan 5.000 ton kobalt per tahun dalam bentuk produk Mixed Hydroxide Precipitate (MHP). Produk ini nantinya dapat diolah lebih lanjut menjadi bahan baku utama untuk baterai kendaraan listrik.
Dengan ketiga proyek ini, Vale semakin menegaskan posisinya sebagai perusahaan tambang yang berorientasi pada keberlanjutan dan rendah emisi. Keberadaan PLTS dan pemanfaatan biomassa menjadi bukti konkret komitmen Vale dalam mendorong industri nikel yang lebih ramah lingkungan. "Kami ingin menjadi bagian dari solusi global dalam mengurangi emisi karbon, dan proyek ini adalah langkah besar untuk mewujudkan itu," tutup Febriany.