JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah meninjau opsi penerapan mandatory bahan bakar nabati (BBN) jenis biodiesel 45% atau B45. Langkah ini menjadi alternatif sebelum menerapkan B50 pada tahun depan.
Implementasi B45 membutuhkan sekitar 17 juta kiloliter (kl) biodiesel. Angka tersebut menunjukkan besarnya persiapan yang harus dilakukan untuk mengalihkan konsumsi bahan bakar fosil menuju energi yang lebih ramah lingkungan.
Studi dan Pertimbangan Kebijakan Bahan Bakar Nabati
Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung, menyatakan bahwa pihaknya masih melakukan kajian mendalam terkait kelanjutan mandatory biodiesel. Pemerintah berfokus pada strategi pengurangan emisi karbon dari bahan bakar fosil sebagai bagian dari komitmen energi bersih.
“Jadi pada tahun 2025 ini kita sudah mengimplementasikan B40 dan kita juga lagi pemetaan apakah pada tahun 2026 itu akan dilakukan mandatory untuk B45 atau B50,” ungkap Yuliot saat ditemui di Jakarta, Selasa, 23 September 2025.
Penerapan B50 sendiri membutuhkan pasokan biodiesel yang lebih besar, mencapai 19 juta kiloliter. Namun, implementasi B50 tak lepas dari tantangan terkait kebutuhan investasi baru dan ketersediaan fatty acid methyl ester (FAME) sebagai bahan baku utama.
FAME merupakan bahan bakar nabati yang diproduksi melalui proses transesterifikasi minyak sawit dengan metanol. Tahun ini, ketersediaan FAME tercatat sekitar 15,6 juta kiloliter, sehingga diperlukan tambahan produksi untuk memenuhi target B45 maupun B50.
“Ya tentu ini merupakan bagian ada penambahan investasi baru, ya kemudian itu ada ketersediaan FAME yang berbasiskan CPO [crude palm oil],” tambah Yuliot.
Dampak Ekonomi dan Target Pemerintah
Penerapan mandatory biodiesel telah memberikan dampak signifikan secara ekonomi. Yuliot menjelaskan bahwa program ini telah menghemat devisa negara hingga US$9,3 miliar atau setara Rp147,5 triliun sepanjang tahun ini.
Tak hanya itu, penggunaan biodiesel juga meningkatkan nilai tambah dalam negeri sekitar Rp20,98 triliun serta membuka lapangan kerja baru mencapai 2 juta orang.
“Kita akan tetap dorong untuk implementasi B50 untuk tahun 2026,” pungkasnya.
Selain Yuliot, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, mengungkapkan pihaknya masih mengkaji rencana penerapan B50 setelah program B40 berjalan di tahun ini.
Ia menjelaskan ada kemungkinan opsi implementasi B45 pada tahun depan, walau hingga kini belum pernah dilakukan uji coba atau testing pada campuran B45.
“B45 itu kita enggak pernah melakukan testing, tapi ini ada kajian memang di segmen 5% juga. Jadi kita nunggu kajian juga. Kemarin kajian baru pelaporan, kita masih kritisi banyak,” jelas Eniya saat ditemui di Jakarta, Rabu, 17 September 2025.
Meskipun demikian, pihak ESDM tetap berusaha mengejar target pelaksanaan B50 pada tahun depan. Kepastian akan keputusan ini sepenuhnya bergantung pada Menteri ESDM Bahlil Lahadalia setelah seluruh kajian teknis selesai dilakukan.
“Kalau saya mempersiapkan sesuai harapan Pak Menteri, mempersiapkan B50, mempersiapkan secara teknis ya. Nah, nanti keputusan kan di pak menteri setelah kajiannya selesai,” tambah Eniya.
Kebijakan ini mencerminkan upaya pemerintah dalam mendorong transisi energi yang lebih ramah lingkungan sekaligus memperkuat ketahanan energi nasional. Meski penuh tantangan, implementasi mandatory biodiesel diharapkan terus berjalan secara bertahap dan bertanggung jawab.
Langkah ini juga diharapkan dapat mendorong investasi baru di sektor energi terbarukan sekaligus memberikan manfaat ekonomi yang berkelanjutan bagi masyarakat dan negara.