Kemenperin Tegaskan Smelter Nikel Eksisting Tetap Jalan di Tengah Aturan Baru

Senin, 10 November 2025 | 11:05:01 WIB
Kemenperin Tegaskan Smelter Nikel Eksisting Tetap Jalan di Tengah Aturan Baru

JAKARTA - Pemerintah memastikan bahwa proyek smelter nikel yang telah memasuki tahap konstruksi tetap mendapat kelonggaran untuk beroperasi. Langkah ini menjadi sinyal positif bagi industri nikel nasional di tengah kebijakan pembatasan izin baru yang kini mulai diterapkan secara ketat.

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menegaskan bahwa kelonggaran tersebut diberikan untuk menjaga kesinambungan investasi yang telah berjalan. Pemerintah juga memastikan bahwa proyek-proyek yang sudah mencapai tahap fisik pembangunan tidak akan terganggu oleh kebijakan baru yang membatasi penerbitan izin bagi smelter nikel baru.

Smelter Nikel dalam Konstruksi Dapat Izin Operasi Terbatas

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin, Setia Diarta, menjelaskan bahwa kebijakan ini berlaku khusus bagi smelter yang telah memasuki tahap konstruksi sebelum diberlakukannya aturan baru. Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak akan menghentikan proyek-proyek yang sudah menunjukkan kemajuan fisik di lapangan.

“Bagi smelter yang sudah konstruksi sebelum pemberlakuan PP 28, akan diproses,” kata Setia Diarta, Senin (10 November 2025). Pernyataan tersebut merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang diundangkan pada 5 Juni 2025.

Dalam aturan tersebut, pemerintah membatasi izin investasi dan izin usaha industri (IUI) baru bagi smelter yang hanya berfokus pada produk antara seperti mixed hydroxide precipitate (MHP), nickel matte, feronikel (FeNi), dan nickel pig iron (NPI). Namun, pengecualian tetap diberikan kepada smelter yang sudah melakukan konstruksi sebelum PP tersebut berlaku.

Kebijakan ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi para investor yang telah menggelontorkan modal besar sebelum aturan baru diterapkan. Pemerintah ingin memastikan proses transisi menuju hilirisasi nikel kelas tinggi tidak mengorbankan pelaku industri yang sudah berkomitmen lebih dulu.

Setia menjelaskan, Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) akan mengirimkan daftar resmi smelter yang masih dalam tahap konstruksi kepada pemerintah. “FINI akan memberikan daftar smelter yang sedang dalam tahap konstruksi. Daftar tersebut akan disampaikan ke Menko Ekon,” ujarnya.

Arah Baru Hilirisasi Nikel Sesuai Rencana Pembangunan Nasional

Kebijakan pembatasan izin bagi smelter nikel baru bukan tanpa alasan. Pemerintah menyesuaikan langkah ini dengan arah pembangunan industri nasional sebagaimana diatur dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015–2035.

Setia Diarta menuturkan bahwa dalam dokumen RIPIN tersebut, Indonesia menargetkan pengolahan nikel tidak lagi berhenti di level produk antara atau nikel kelas dua. “Sesuai RIPIN PP No. 14/2015, untuk target industri pengolahan dan pemurnian nikel tahun 2025–2035 bukan lagi pada nikel kelas dua,” jelasnya.

Dengan demikian, hilirisasi ke depan diarahkan pada pengolahan nikel menjadi produk bernilai tambah tinggi seperti nickel electrolytic, nickel sulfate, dan nickel chloride. Langkah ini sekaligus menjadi bagian dari upaya mendukung pengembangan industri kendaraan listrik dan baterai nasional.

Kemenperin juga menegaskan bahwa kebijakan ini tidak hanya soal pembatasan, tetapi strategi untuk menciptakan rantai pasok yang lebih efisien dan berkelanjutan. Pemerintah ingin mengalihkan fokus dari produksi bahan mentah ke produk yang siap mendukung ekosistem teknologi hijau di masa depan.

Bagi pemerintah, penguatan industri nikel hilir menjadi modal penting agar Indonesia tidak hanya menjadi pemasok bahan baku global. Namun juga menjadi pemain utama dalam rantai industri energi baru terbarukan dunia.

Selain izin industri, Kemenperin tetap mengeluarkan izin usaha industri (IUI) bagi smelter yang tidak terintegrasi dengan tambang. Sementara untuk perusahaan yang melakukan kegiatan eksplorasi hingga pemurnian di wilayah tambang sendiri, izin usaha pertambangan (IUP) tetap harus diperoleh dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Langkah ini menegaskan pembagian wewenang yang jelas antara Kemenperin dan ESDM dalam mengatur tata kelola industri nikel nasional. Sinergi kedua lembaga ini menjadi kunci agar kebijakan hilirisasi berjalan selaras tanpa tumpang tindih regulasi.

Industri Harap Pemerintah Adil terhadap Proyek yang Sudah Berjalan

Sementara itu, pelaku industri nikel yang tergabung dalam Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) menyambut baik sikap pemerintah yang memberikan ruang bagi proyek yang telah memasuki tahap konstruksi. Mereka menilai langkah tersebut sebagai bentuk keadilan bagi investor yang sudah lebih dulu memulai pembangunan.

Ketua Umum FINI, Arif Perdanakusumah, mengungkapkan bahwa beberapa perusahaan anggotanya sudah memulai pembangunan fasilitas pengolahan sebelum PP No. 28/2025 diberlakukan. Oleh karena itu, pihaknya berharap agar aturan baru tidak diberlakukan secara retroaktif.

“Saat ini FINI telah berdiskusi dengan kementerian-kementerian terkait, kami memohon kebijakan dari pemerintah untuk dapat memberikan pengecualian dari ketentuan PP No. 28/2025 tersebut dengan mempertimbangkan kesiapan produksi dan proses konstruksi atau pembangunan yang telah dilakukan,” ujar Arif, Jumat (7 November 2025).

Menurutnya, pengecualian tersebut penting agar produktivitas di sektor hilirisasi nikel tetap terjaga dan tidak menimbulkan ketidakpastian di kalangan investor. “Hal ini dalam rangka menjaga produktivitas di sektor hilirisasi industri mineral nikel dan menjaga iklim investasi yang kondusif dan adil,” lanjutnya.

Arif menegaskan bahwa pelaku industri mendukung penuh arah hilirisasi pemerintah, namun meminta agar kebijakan transisi dijalankan dengan memperhatikan kondisi faktual di lapangan. FINI juga berkomitmen membantu pemerintah dalam menginventarisasi smelter yang sudah berada pada tahap konstruksi agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam penerapan aturan.

Kemenperin sendiri mencatat hingga Maret 2024 terdapat 44 smelter nikel yang sudah beroperasi di bawah binaan Direktorat Jenderal ILMATE. Kapasitas produksi terbesar berada di Maluku Utara dengan total produksi mencapai 6,25 juta ton per tahun.

Selain itu, terdapat 19 smelter yang sedang dalam tahap konstruksi dan 7 proyek lain yang masih berada dalam tahap studi kelayakan atau feasibility study. Dengan demikian, total proyek smelter nikel pemegang izin industri di Indonesia per Maret 2024 mencapai 70 proyek.

Data tersebut menunjukkan bahwa industri nikel di Indonesia masih menjadi sektor strategis yang tumbuh pesat. Pemerintah berharap langkah pembatasan izin baru tidak menghambat investasi yang sudah berjalan, melainkan mengarahkan pertumbuhan industri ke tahap yang lebih maju.

Transisi Hilirisasi Nikel Menuju Produk Bernilai Tambah Tinggi

Kemenperin menilai bahwa fase pengetatan izin ini menjadi langkah penting dalam memastikan transformasi industri nikel menuju produk bernilai tambah tinggi. Pemerintah ingin memastikan bahwa setiap pembangunan smelter baru memberikan kontribusi signifikan terhadap target industrialisasi nasional.

Dengan fokus pada pengolahan nikel menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik, Indonesia diharapkan dapat memperkuat posisinya dalam rantai pasok global industri energi hijau. Kebijakan ini juga diharapkan dapat menarik investor yang berorientasi pada inovasi dan teknologi ramah lingkungan.

Langkah tersebut selaras dengan visi jangka panjang pemerintah dalam menciptakan ekosistem industri berdaya saing tinggi dan berkelanjutan. Melalui kebijakan yang lebih selektif, Indonesia berambisi menjadi pusat produksi nikel bernilai tambah yang tak hanya memasok kebutuhan domestik, tetapi juga ekspor ke berbagai negara maju.

Setia Diarta menekankan bahwa koordinasi antara kementerian dan dunia usaha akan terus diperkuat untuk memastikan pelaksanaan kebijakan berjalan efektif. Pemerintah akan mengawal setiap proyek yang sudah berjalan agar tetap produktif sekaligus memastikan arah hilirisasi menuju produk kelas tinggi tetap konsisten.

“Pemerintah mendukung penuh transformasi industri ini agar Indonesia tidak hanya menjadi penjual bahan mentah, tetapi produsen utama produk olahan bernilai tambah,” ujarnya. Dengan pendekatan ini, Indonesia diharapkan mampu menjaga momentum investasi sekaligus mempercepat perwujudan kemandirian industri nasional.

Terkini