JAKARTA - Ketidakpastian ekonomi yang terjadi baik di dalam negeri maupun global memaksa sektor perbankan nasional untuk mengadopsi strategi adaptif dan mitigatif. Dalam menghadapi tekanan daya beli masyarakat yang melemah serta kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang belum jelas arah akhirnya, perbankan Indonesia memperkuat posisi fundamental dan mengedepankan prinsip kehati-hatian untuk menjaga stabilitas dan kinerja keuangan mereka.
Berdasarkan laporan terbaru dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia bertajuk “CORE Insight: Awas Anomali Konsumsi Jelang Lebaran 2025”, kondisi perekonomian domestik saat ini mengalami gejolak yang ditandai dengan tren deflasi yang tidak biasa menjelang bulan Ramadan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada Februari 2025, Indonesia mengalami deflasi sebesar -0,48 persen (bulanan), -0,09 persen (tahunan), dan -1,24 persen (year to date).
Deflasi ini banyak dipicu oleh insentif pemerintah berupa diskon tarif listrik sebesar 50 persen bagi rumah tangga kelas menengah yang berlaku sejak Januari hingga Februari. Kelompok pengeluaran seperti perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga menjadi penyumbang utama turunnya harga. Lebih mengejutkan lagi, kelompok makanan, minuman, dan tembakau yang biasanya menyumbang inflasi menjelang Ramadan justru mencatat deflasi -0,12 persen secara bulanan.
Lemahnya konsumsi ini memperkuat indikasi menurunnya daya beli, terutama di kelas menengah dan menengah atas. CORE juga mencatat terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di sektor manufaktur, kesulitan mencari pekerjaan formal, serta melambatnya pertumbuhan upah di sektor pertanian dan manufaktur sebagai penyebab utama.
Situasi ini diperburuk oleh faktor eksternal. Presiden AS Donald Trump pada awal April 2025 mengumumkan penerapan kebijakan tarif resiprokal yang menetapkan tarif impor sebesar 32 persen untuk Indonesia—tiga kali lipat dari tarif dasar sebelumnya. Meskipun kebijakan ini ditunda selama 90 hari, ketidakpastian yang menyertainya memperpanjang tekanan terhadap sektor keuangan dan bisnis di Indonesia.
Menanggapi dinamika tersebut, sektor perbankan mulai memetakan langkah-langkah strategis. Corporate Secretary Bank Negara Indonesia (BNI), Okki Rushartomo, menyampaikan bahwa pihaknya terus melakukan pemantauan terhadap kebijakan tarif AS dan respons negara-negara lainnya. “Kami tetap memitigasi dampaknya. Kami membuat scenario planning secara berkala, bagaimana kondisi ini dapat memengaruhi operating environment perbankan, khususnya pada aspek likuiditas, risiko pasar, dan risiko kredit,” kata Okki pada 15 April 2025.
BNI, lanjut Okki, mengoptimalkan ekspansi dana murah melalui platform transaksi digital seperti wondr by BNI untuk segmen ritel dan BNIdirect untuk segmen wholesale. Selain itu, BNI fokus menyalurkan kredit ke segmen korporasi blue chip, termasuk swasta dan BUMN beserta rantai pasoknya. Hingga Februari 2025, BNI mencatat pertumbuhan kredit sebesar 10,2 persen secara tahunan atau senilai Rp 742 triliun. Rasio kredit bermasalah (NPL) BNI juga turun ke angka 1,96 persen dari sebelumnya 2 persen pada Desember 2024.
Langkah serupa juga dilakukan oleh Permata Bank. Direktur Utama Permata Bank, Meliza M Rusli, menegaskan bahwa pihaknya selalu mengedepankan prinsip kehati-hatian. “Kami terus mengkaji dampak perubahan kebijakan tarif masuk AS terhadap portofolio kami. Kami senantiasa mendukung kebijakan yang akan diambil Pemerintah Indonesia dan regulator,” ujar Meliza. Kredit yang disalurkan Permata Bank masih tumbuh sebesar 6,6 persen pada Februari 2025.
Bank Central Asia (BCA) juga menyatakan kesiapannya menghadapi dinamika global. EVP Corporate Communication and Social Responsibility BCA, Hera F Haryn, menyampaikan bahwa pihaknya tetap fokus menjaga fundamental bisnis. “Kami meyakini pemerintah dan otoritas telah memiliki langkah strategis untuk mengantisipasi dinamika perekonomian global tersebut,” kata Hera.
BCA juga menerapkan sistem pemantauan risiko secara ketat, termasuk early warning system untuk mendeteksi potensi debitur bermasalah. Penyaluran kredit BCA per Februari 2025 meningkat 14 persen secara tahunan menjadi Rp 900,7 triliun, lebih tinggi dari rata-rata industri.
Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae, kualitas kredit industri perbankan masih terjaga dengan rasio NPL gross 2,22 persen pada Februari 2025, meningkat sedikit dari 2,18 persen di Januari. Namun, jika dibandingkan dengan Februari 2024, angkanya justru menurun dari 2,35 persen. Rasio Loan at Risk (LAR) juga stabil di angka 9,77 persen, dan sudah lebih rendah dari kondisi sebelum pandemi pada Desember 2019 yang sebesar 9,93 persen.
Ekonom senior dan Associate Faculty LPPI, Ryan Kiryanto, menyampaikan bahwa tekanan eksternal dari kebijakan tarif Trump akan memperpanjang ketidakpastian bisnis. “Penundaan 90 hari belum memberikan kepastian soal berapa final tarif untuk Indonesia. Dalam situasi sekarang, perencanaan bisnis harus diterapkan under promising over deliver,” ujarnya. Artinya, perbankan sebaiknya menetapkan target konservatif yang lebih realistis dan dapat dicapai.
Dampak dari ketidakpastian tarif tersebut juga akan merambat ke sektor perdagangan dan akhirnya ke sektor keuangan. Sebagai salah satu mitra dagang utama Indonesia, jika AS menerapkan tarif tinggi untuk produk-produk Indonesia, maka ekspor akan terdampak, yang selanjutnya bisa memengaruhi kinerja eksportir dan pembayaran pinjaman mereka kepada perbankan.
Peneliti senior CORE Indonesia, Etikah Karyani, mengungkapkan bahwa sektor perdagangan besar dan eceran yang banyak melakukan ekspor menunjukkan tren NPL yang memburuk. “Pada Januari 2025, NPL untuk sektor ini berada di level 3,61 persen, naik dari 3,29 persen pada Desember 2024,” ungkapnya. Ini menjadi sinyal agar sektor perbankan lebih selektif dan adaptif dalam menyalurkan kredit.
Menghadapi situasi kompleks ini, kombinasi strategi pembiayaan terarah dan manajemen risiko yang prudent menjadi kunci bagi perbankan untuk menjaga kualitas aset dan mendorong pertumbuhan berkelanjutan di tengah ketidakpastian ekonomi.
Dengan sistem keuangan yang terbuka, Indonesia tidak bisa menghindari dampak global. Oleh karena itu, langkah proaktif dari sektor perbankan menjadi sangat krusial demi menjaga stabilitas ekonomi nasional.