Menhan Tegaskan Kepentingan Pertahanan Jangan Dikalahkan Komersialisasi, Soroti Sengketa Lahan TNI dengan Angkasa Pura

Rabu, 30 April 2025 | 13:23:13 WIB
Menhan Tegaskan Kepentingan Pertahanan Jangan Dikalahkan Komersialisasi, Soroti Sengketa Lahan TNI dengan Angkasa Pura

JAKARTA - Menteri Pertahanan Republik Indonesia, Sjafrie Sjamsoeddin, menyuarakan kekhawatiran serius terkait penggunaan lahan milik Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang kini sebagian dimanfaatkan oleh pihak lain untuk kepentingan komersial, termasuk oleh Angkasa Pura. Dalam rapat kerja bersama Komisi I DPR RI yang berlangsung di Gedung DPR, Sjafrie menegaskan bahwa kepentingan pertahanan negara seharusnya tidak boleh dikalahkan oleh kegiatan bisnis yang mengabaikan fungsi utama aset pertahanan. Ia menyayangkan kenyataan bahwa sejumlah lahan yang berada dalam wilayah strategis militer telah digunakan untuk kepentingan yang tidak relevan dengan operasional TNI. “Termasuk persoalan dengan Angkasa Pura, saya tidak jelas bagaimana keperluan pertahanan negara bisa dikalahkan untuk kebutuhan komersial,” tegas Sjafrie dalam pernyataannya yang menyiratkan kekecewaan terhadap lemahnya perlindungan terhadap aset vital militer tersebut.

Dalam penjelasannya di hadapan para anggota legislatif, Menhan menjelaskan bahwa banyak aset TNI yang berlokasi di sekitar atau bahkan di dalam pangkalan militer justru telah beralih fungsi menjadi lahan komersial. Hal ini menurutnya bertentangan dengan logika dasar pertahanan negara yang mengharuskan semua sumber daya, termasuk lahan, dimaksimalkan untuk menunjang kekuatan dan kesiapan militer. Ia menilai bahwa ketidaksesuaian pemanfaatan lahan semacam ini mengancam efektivitas dan efisiensi operasional TNI di lapangan. “Ini mungkin bisa jadi bahan pertimbangan agar supaya kita perlu mendorong bahwa lahan-lahan, terutama yang berada di pangkalan, kembali bisa kita gunakan semaksimal mungkin untuk kepentingan pertahanan,” lanjutnya.

Permasalahan pemanfaatan lahan ini kian pelik karena dari sisi legalitas, mayoritas lahan milik TNI ternyata belum memiliki sertifikat resmi. Sjafrie mengungkapkan bahwa hingga saat ini sebanyak 64 persen tanah yang dikuasai oleh TNI masih belum tersertifikasi secara hukum. Situasi tersebut membuat status hukum lahan menjadi lemah dan mudah diganggu oleh pihak-pihak lain, termasuk yang berkepentingan komersial. “Memang ini persoalan klasik. Saya mungkin tidak perlu menceritakan detail, tetapi memang tanah TNI itu masih 64 persen belum bersertifikat,” ujar Sjafrie, menyoroti betapa urgen persoalan ini untuk segera diselesaikan.

Pernyataan ini memperkuat urgensi untuk mempercepat proses sertifikasi tanah milik TNI sebagai bagian dari penataan aset negara secara menyeluruh. Selain sebagai langkah administrasi, sertifikasi juga menjadi pondasi hukum penting untuk melindungi tanah-tanah strategis dari kemungkinan konflik atau sengketa kepemilikan di masa depan. Menurut Sjafrie, proses legalisasi lahan harus menjadi prioritas nasional demi menjamin keberlanjutan fungsi pertahanan dan keamanan negara. “Ini juga bagian dari kerja kita untuk meningkatkan status hukum tanah-tanah TNI ke depan,” imbuhnya.

Guna menuntaskan masalah ini, Kementerian Pertahanan telah melakukan koordinasi intensif dengan sejumlah kementerian dan lembaga terkait. Salah satu mitra utama dalam upaya percepatan sertifikasi lahan adalah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Melalui kerja sama lintas sektor ini, diharapkan seluruh aset pertahanan yang belum bersertifikat bisa segera mendapatkan kepastian hukum. “Kami terus menjalin koordinasi, termasuk dengan ATR/BPN, untuk memastikan seluruh lahan strategis milik TNI memiliki kekuatan hukum yang jelas,” ujar Sjafrie dalam forum tersebut.

Polemik terkait lahan milik TNI bukan kali ini saja menjadi sorotan publik. Sebelumnya, berbagai sengketa kepemilikan dan tudingan penyerobotan lahan TNI juga pernah muncul di sejumlah daerah, termasuk di Bekasi. Bahkan, Panglima TNI Jenderal Yudo Margono sempat menjadi sorotan karena diduga menerima informasi keliru mengenai status hukum lahan militer di wilayah tersebut. Kasus ini menambah daftar panjang persoalan lahan pertahanan yang belum tuntas, dan memperlihatkan kompleksitas hubungan antarinstansi dalam mengelola aset negara.

Isu ini juga memunculkan kekhawatiran bahwa lemahnya tata kelola lahan pertahanan bisa berujung pada berkurangnya kesiapan tempur TNI dalam menghadapi berbagai tantangan strategis di masa mendatang. Dalam konteks global yang kian dinamis, dengan ancaman yang semakin kompleks baik dari sisi konvensional maupun non-konvensional, keberadaan lahan yang cukup dan terlindungi secara hukum menjadi salah satu elemen penting dari sistem pertahanan yang tangguh.

Sementara itu, Komisi I DPR yang membidangi urusan pertahanan, luar negeri, dan informasi menyatakan dukungan terhadap langkah-langkah Kementerian Pertahanan dalam menyelesaikan persoalan lahan ini. Beberapa anggota dewan mendorong agar audit menyeluruh terhadap seluruh aset milik TNI segera dilakukan, serta adanya pembentukan tim lintas sektor untuk menyelesaikan berbagai sengketa yang tengah berlangsung. Mereka menilai bahwa penyelesaian masalah ini tak hanya berkaitan dengan legalitas aset, tetapi juga menyangkut soal kedaulatan dan integritas wilayah negara.

Meningkatkan efektivitas pertahanan nasional berarti pula memastikan bahwa semua unsur pendukung operasional TNI, termasuk lahan, dalam kondisi siap pakai, tidak terganggu oleh kepentingan lain, dan memiliki status hukum yang tidak dipertanyakan. Apalagi, TNI memiliki pangkalan dan fasilitas di sejumlah titik yang sangat strategis dari sisi geografi dan geopolitik. Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai fungsi bisa berakibat fatal, baik dalam konteks pertahanan maupun stabilitas keamanan domestik.

Pernyataan tegas dari Menhan Sjafrie Sjamsoeddin ini diharapkan menjadi momentum penting bagi semua pihak untuk kembali menempatkan kepentingan pertahanan nasional sebagai prioritas utama dalam pengelolaan aset negara. Komersialisasi aset militer, tanpa perhitungan yang matang terhadap aspek keamanan, harus dikaji ulang agar tidak menjadi ancaman tersembunyi di tengah upaya memperkuat postur pertahanan Indonesia.

Jika pengamanan lahan strategis militer terus diabaikan dan tidak diimbangi dengan langkah hukum serta administratif yang memadai, maka Indonesia berpotensi menghadapi risiko jangka panjang dalam menjaga keutuhan dan kesiapan pertahanannya. Oleh karena itu, kerja sama lintas sektor dan dukungan penuh dari seluruh elemen negara menjadi mutlak diperlukan demi mewujudkan sistem pertahanan yang tangguh, mandiri, dan siap menghadapi setiap tantangan.

Terkini

14 Kebiasaan Buruk yang Mempercepat Penuaan Dini Tubuh

Senin, 22 September 2025 | 16:18:21 WIB

6 Tanda Tubuh Kekurangan Kalsium yang Perlu Diketahui

Senin, 22 September 2025 | 16:18:17 WIB

Tablet Redmi Pad 2 Pro: Layar 12,1 Inci dan Baterai Jumbo

Senin, 22 September 2025 | 16:18:15 WIB

Pesona Miyagi, Surga Alam dan Kuliner Otentik di Jepang

Senin, 22 September 2025 | 16:18:12 WIB