JAKARTA - Harga emas dunia terus menanjak tajam hingga mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah. Pada April 2025, harga emas global tercatat menembus 3.400 dollar AS per troy ounce, menandai kenaikan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Di pasar domestik, emas batangan Antam ikut mengalami lonjakan signifikan, mencapai Rp 2 juta per gram. Angka ini tercatat meningkat lebih dari 31 persen sejak awal tahun 2025.
Lonjakan harga emas yang terjadi belakangan ini bukan semata-mata disebabkan oleh fluktuasi musiman atau euforia pasar jangka pendek. Menurut riset terbaru Kiwoom Sekuritas Indonesia, fenomena ini merupakan hasil dari kombinasi berbagai faktor fundamental yang kuat, tekanan makroekonomi global, serta sentimen pasar yang semakin mengutamakan instrumen lindung nilai di tengah ketidakpastian. "Ini adalah hasil dari perpaduan faktor fundamental yang solid, tekanan makroekonomi global, serta sentimen pasar yang semakin waspada, tetapi tetap mencari peluang lindung nilai di tengah ketidakpastian yang tinggi belakangan ini," tulis Kiwoom Sekuritas Indonesia
Lebih lanjut, dalam laporan yang sama, sejumlah lembaga keuangan terkemuka memproyeksikan bahwa harga emas dunia masih berpotensi melanjutkan tren kenaikannya hingga mencapai level 4.000 dollar AS per troy ounce dalam waktu dekat. Prediksi tersebut didasarkan pada kondisi geopolitik yang semakin memanas, perubahan kebijakan moneter global yang cenderung lebih longgar (dovish), serta peningkatan permintaan dari negara-negara Asia dan bank sentral di berbagai belahan dunia.
Gejolak geopolitik menjadi salah satu pendorong utama di balik reli harga emas ini. Ketegangan yang terjadi di Timur Tengah, khususnya antara Iran dan Israel, konflik yang berkepanjangan di Ukraina, serta potensi ketegangan di kawasan Taiwan, membuat investor global semakin khawatir dan beralih mencari aset safe haven. Dalam situasi ketidakpastian global seperti ini, emas kembali berfungsi sebagai "benteng ketakutan", atau instrumen perlindungan terhadap risiko sistemik. Para analis meyakini bahwa selama ketegangan geopolitik terus berlanjut, permintaan terhadap emas akan tetap tinggi dan mendorong harga naik lebih lanjut.
Selain faktor geopolitik, perubahan kebijakan moneter global juga turut berperan besar dalam kenaikan harga emas. Bank sentral di berbagai negara kini mulai mengadopsi kebijakan moneter yang lebih akomodatif untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di tengah berbagai tekanan global. Meskipun diwarnai tekanan dari Presiden AS Donald Trump terhadap Ketua The Fed Jerome Powell untuk mempertahankan suku bunga rendah, arah kebijakan moneter cenderung tetap dovish. Kondisi ini menyebabkan yield obligasi riil turun, sehingga meningkatkan daya tarik emas sebagai aset tanpa imbal hasil.
Tak hanya itu, permintaan emas fisik dari negara-negara Asia seperti China dan India juga meningkat signifikan. Permintaan dari sektor ritel dan industri perhiasan terus menunjukkan tren positif, seiring dengan stabilnya pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut. Bank sentral berbagai negara juga diketahui meningkatkan cadangan emas mereka sebagai upaya diversifikasi aset cadangan devisa di tengah ketidakpastian nilai tukar mata uang utama dunia.
Lonjakan permintaan ini memperkuat fundamental pasar emas dan memberikan landasan yang kuat bagi harga untuk terus bergerak naik. Dalam kondisi seperti ini, banyak investor institusi maupun individu berupaya memperbesar eksposur mereka terhadap emas sebagai bagian dari strategi manajemen risiko portofolio.
Di sisi teknikal, penguatan harga emas juga didukung oleh pola perdagangan yang menunjukkan sinyal bullish kuat. Breakout harga di atas level resistance teknikal utama mendorong sentimen positif di kalangan pelaku pasar. Volume perdagangan emas di bursa berjangka global pun tercatat melonjak, mengindikasikan minat yang terus bertambah terhadap logam mulia ini.
Kiwoom Sekuritas Indonesia dalam laporannya menekankan bahwa meskipun volatilitas tetap tinggi, arah tren jangka menengah hingga panjang harga emas cenderung tetap positif. "Kami melihat ada potensi kelanjutan tren bullish pada emas, didorong oleh kombinasi faktor fundamental, teknikal, serta sentimen makroekonomi global yang tetap rentan," tulis Kiwoom Sekuritas.
Sementara itu, analis lain memperingatkan bahwa meskipun prospek jangka menengah terlihat kuat, investor tetap harus berhati-hati terhadap potensi koreksi harga dalam jangka pendek. Faktor-faktor seperti penguatan tiba-tiba dolar AS atau perubahan kebijakan suku bunga yang tidak terduga dari bank sentral utama bisa menjadi risiko pembalik arah bagi harga emas.
Namun, untuk saat ini, banyak pelaku pasar tetap optimistis bahwa emas masih menjadi salah satu pilihan investasi terbaik di tengah ketidakpastian global. Harga emas yang menembus Rp 2 juta per gram di pasar domestik disebut-sebut belum menunjukkan tanda-tanda puncak. Dengan kondisi geopolitik yang terus memanas, kebijakan moneter yang longgar, dan permintaan global yang kuat, logam mulia ini diprediksi akan terus bersinar dalam beberapa bulan ke depan.
Di tengah kondisi ini, pertanyaan yang banyak muncul adalah apakah saat ini masih tepat untuk membeli emas? Sejumlah analis berpendapat bahwa selama ketidakpastian global tetap tinggi, emas tetap menjadi instrumen lindung nilai yang efektif. "Investor yang ingin melakukan diversifikasi portofolio mereka sebaiknya mempertimbangkan alokasi emas, meskipun perlu memperhatikan level entry yang optimal," kata seorang analis senior di sebuah perusahaan sekuritas global.
Dengan prospek jangka panjang yang cerah dan berbagai faktor pendukung yang kuat, emas diprediksi akan tetap menjadi primadona di tengah ketidakpastian global yang terus membayangi pasar keuangan dunia. Para investor pun diimbau untuk tetap waspada, tetapi tidak melewatkan peluang emas ini sebagai bagian dari strategi investasi mereka ke depan.