Presiden Prabowo Umumkan Soeharto Sebagai Pahlawan Nasional di Tengah Gelombang Kontroversi

Senin, 10 November 2025 | 08:57:06 WIB
Presiden Prabowo Umumkan Soeharto Sebagai Pahlawan Nasional di Tengah Gelombang Kontroversi

JAKARTA - Presiden Prabowo Subianto dijadwalkan mengumumkan sepuluh tokoh penerima gelar pahlawan nasional 2025 pada Senin, 10 November 2025. Dari daftar tersebut, Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, menjadi salah satu nama yang dipastikan menerima penghargaan tertinggi dari negara itu.

Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyampaikan hal tersebut kepada awak media. “Kurang lebih 10 nama, [Pak Soeharto] masuk,” ujarnya.

Proses Penetapan dan Pertimbangan Pemerintah

Prasetyo menjelaskan bahwa keputusan ini merupakan hasil pembahasan panjang antara Presiden dan sejumlah tokoh nasional. Kepala Negara disebut telah memfinalisasi daftar penerima gelar bersama Menteri Kebudayaan Fadli Zon, Ketua MPR Ahmad Muzani, dan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad.

Menurutnya, proses pengambilan keputusan dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai masukan dari banyak pihak. “Presiden mendapatkan masukan dari Ketua MPR dan Wakil Ketua DPR. Cara bekerja beliau memang menugaskan beberapa untuk berkomunikasi dengan para tokoh, sehingga apa yang diputuskan pemerintah sudah melalui berbagai masukan,” ujar Prasetyo.

Ia menegaskan, penganugerahan gelar pahlawan nasional diberikan kepada tokoh yang memiliki jasa luar biasa terhadap bangsa dan negara. Bagi pemerintah, Soeharto dianggap memiliki peran penting dalam pembangunan nasional selama tiga dekade masa pemerintahannya.

Soeharto dan Warisan Tiga Dekade Kekuasaan

Soeharto memimpin Indonesia sejak tahun 1967 hingga 1998. Selama lebih dari tiga puluh tahun, pemerintahannya dikenal mampu menjaga stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Pada masa awal kepemimpinannya, pertumbuhan ekonomi Indonesia bahkan sempat mencapai 10,9 persen pada tahun 1968—angka tertinggi dalam sejarah perekonomian nasional. Kondisi itu menandai keberhasilan program pembangunan ekonomi yang dijalankan pada era Orde Baru.

Namun di sisi lain, stabilitas yang dibangun pada masa tersebut juga dibayangi oleh kekuatan militer yang dominan. Sistem politik kala itu menempatkan TNI sebagai kekuatan utama melalui doktrin Dwifungsi ABRI yang memungkinkan keterlibatan militer dalam pemerintahan.

Catatan Kelam dan Tuduhan Pelanggaran HAM Berat

Pemerintahan Soeharto tak lepas dari sorotan tajam terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Sejumlah peristiwa besar seperti pembantaian massal 1965–1966, tragedi Tanjung Priok 1984, hingga peristiwa Talangsari 1989 menjadi bagian dari catatan sejarah kelam.

Selain itu, kekerasan di Aceh, Timor Timur, dan Papua juga terjadi di masa kepemimpinannya. Menjelang kejatuhannya pada 1997–1998, muncul pula penghilangan paksa aktivis dan penembakan misterius atau petrus terhadap mereka yang dianggap mengganggu stabilitas keamanan.

Negara sendiri telah mengakui bahwa beberapa peristiwa tersebut termasuk kategori pelanggaran HAM berat. Hal ini ditegaskan melalui Ketetapan MPR pada awal era reformasi serta pernyataan resmi Presiden Joko Widodo pada Januari 2023.

Penolakan dari Aktivis dan Pegiat HAM

Keputusan pemerintah memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto menuai kritik keras dari berbagai kalangan, terutama aktivis HAM dan tokoh reformasi. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyebut keputusan ini sebagai skandal politik yang menabrak batas hukum dan moral.

“Keputusan itu jelas merupakan skandal politik. Pertama, menabrak batas-batas yuridis, khususnya TAP MPR No. XI/MPR/1998. TAP MPR produk reformasi itu sekarang menjadi sampah,” tegas Usman.

Ia menilai, keputusan tersebut berpotensi menormalkan berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi selama masa pemerintahan Soeharto. Menurutnya, gelar pahlawan nasional semestinya diberikan kepada tokoh yang konsisten memperjuangkan kemanusiaan dan demokrasi.

Kritik dari Kalangan Reformasi dan LBH

Penolakan juga datang dari aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Fadhil, yang menilai pemberian gelar ini bertentangan dengan semangat reformasi. Ia menegaskan bahwa tuntutan reformasi adalah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.

“Pemberian gelar pahlawan ini adalah bukti konkret bahwa rezim yang dipimpin Prabowo Subianto saat ini telah melenceng jauh dari mandat dan tuntutan reformasi,” ujarnya.

Senada dengan itu, tokoh reformasi Adian Napitupulu juga mempertanyakan dasar pemberian gelar tersebut. Ia menilai tidak ada keteladanan dari sosok Soeharto yang bisa dijadikan panutan bagi generasi mendatang.

“Gelar itu kan karena ada hal-hal yang memang menjadi keteladanan, kemudian ada banyak alat ukur ya segala macam. Nah, Soeharto apa ya?” tutur Adian dengan nada heran.

Upaya Lama yang Akhirnya Terwujud

Data Kementerian Sosial menunjukkan bahwa nama Soeharto telah diajukan berkali-kali sebagai calon pahlawan nasional sejak tahun 2011 hingga 2023. Namun baru kali ini pemerintah benar-benar menyetujuinya.

Menariknya, keputusan tersebut muncul saat Prabowo Subianto—mantan menantu Soeharto—menjabat sebagai presiden. Hal ini menimbulkan beragam spekulasi publik, termasuk tudingan adanya faktor kedekatan personal yang memengaruhi keputusan tersebut.

Meski demikian, pemerintah menegaskan bahwa penganugerahan gelar ini murni didasarkan pada penilaian objektif terhadap jasa dan kontribusi Soeharto bagi pembangunan nasional.

Dinamika dan Makna di Balik Gelar Pahlawan Nasional

Gelar pahlawan nasional adalah bentuk penghargaan tertinggi dari negara yang diberikan kepada tokoh-tokoh yang dinilai berjasa besar terhadap bangsa Indonesia. Namun, penganugerahan gelar ini juga sering kali menimbulkan polemik, terutama jika menyangkut figur dengan rekam jejak kontroversial.

Dalam kasus Soeharto, perdebatan antara penghargaan atas jasa pembangunan dan pengakuan terhadap pelanggaran HAM masa lalu kembali mencuat. Sebagian pihak menilai bahwa negara seharusnya menuntaskan persoalan HAM terlebih dahulu sebelum memberikan penghormatan semacam ini.

Polemik ini menunjukkan bahwa persoalan rekonsiliasi sejarah di Indonesia masih jauh dari selesai. Gelar pahlawan nasional untuk Soeharto kini bukan hanya penghormatan simbolik, melainkan juga ujian bagi komitmen bangsa terhadap nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.

Terkini