JAKARTA - Indonesia tengah menghadapi tantangan besar dalam mencapai target net zero emission (NZE) atau emisi nol bersih pada masa mendatang. Salah satu tantangan utama datang dari sektor pertambangan, khususnya akibat penggunaan kendaraan operasional berbahan bakar fosil yang masih sangat dominan.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep), Bisman Bakhtiar, menyatakan bahwa aktivitas pertambangan saat ini masih sangat ekspansif, terutama di sektor batu bara. Kegiatan ini bukan hanya berkontribusi besar terhadap perekonomian, namun juga menjadi penyebab meningkatnya emisi gas rumah kaca.
“Kendaraan dan alat berat di tambang masih sepenuhnya mengandalkan bahan bakar minyak (BBM) berbasis fosil yang memiliki tingkat emisi tinggi,” ujar Bisman saat diwawancarai oleh Beritasatu.com pada Rabu (30/7). Hal ini, menurutnya, membuat penerapan kebijakan menuju NZE di sektor pertambangan menjadi sangat berat dan kompleks.
Hambatan Legislasi dan Kebijakan Energi Bersih
Salah satu faktor yang memperlambat transisi sektor pertambangan ke arah lebih ramah lingkungan adalah belum disahkannya Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBET). RUU ini menjadi salah satu regulasi penting yang diharapkan dapat mempercepat pengembangan energi bersih, terutama di sektor-sektor penyumbang emisi besar.
Bisman menyoroti bahwa pembahasan RUU EBET telah berlangsung lebih dari lima tahun tanpa kejelasan. Padahal, regulasi tersebut sangat dibutuhkan untuk memberi kepastian hukum dan mendorong investasi di sektor energi terbarukan, termasuk di lingkungan pertambangan.
“RUU ini menjadi tonggak penting untuk mendorong elektrifikasi alat berat dan kendaraan tambang, serta penggunaan pembangkit listrik energi bersih di lokasi tambang,” tambahnya. Tanpa kehadiran payung hukum yang kuat, perusahaan cenderung menunda investasi pada teknologi hijau yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
Dorongan dari Asosiasi Industri untuk Reformasi Energi
Sikap kritis terhadap lambannya perubahan di sektor pertambangan juga disampaikan oleh Ketua Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batubara Indonesia (Aspebindo), Anggawira. Menurutnya, transformasi menuju energi bersih di sektor tambang harus segera dilakukan dan tidak bisa lagi ditunda.
Anggawira menyatakan bahwa perusahaan tambang memiliki tanggung jawab besar untuk melakukan reforestasi atau penghijauan kembali lahan yang sudah ditambang. Selain itu, mereka juga perlu mulai mengadopsi teknologi energi baru dan terbarukan (EBT), seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), sebagai sumber energi alternatif di wilayah operasional.
Ia menekankan pentingnya campur tangan pemerintah dalam mendorong perusahaan agar lebih agresif mengadopsi solusi hijau. “Perlu ada insentif fiskal, kemudahan perizinan, dan pendampingan teknis bagi perusahaan yang serius mengembangkan PLTS dan teknologi elektrifikasi alat berat,” ujar Anggawira.
Elektrifikasi Transportasi Tambang Jadi Solusi Kunci
Salah satu langkah konkret yang dinilai krusial untuk menurunkan emisi di sektor pertambangan adalah elektrifikasi kendaraan dan alat berat. Saat ini, mayoritas kendaraan operasional tambang masih menggunakan diesel, yang selain boros, juga menghasilkan emisi karbon tinggi.
Penggantian kendaraan berbahan bakar fosil dengan kendaraan listrik atau berbasis hidrogen menjadi agenda penting dalam agenda dekarbonisasi. Beberapa perusahaan tambang besar di dunia bahkan telah mulai menguji coba truk tambang bertenaga listrik untuk meminimalkan jejak karbon.
Namun di Indonesia, implementasi kendaraan listrik di sektor tambang masih sangat terbatas. Hal ini disebabkan oleh berbagai kendala, mulai dari infrastruktur pengisian daya yang belum tersedia, hingga mahalnya biaya awal pengadaan kendaraan listrik untuk kebutuhan tambang.
Pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya dinilai perlu menciptakan peta jalan yang jelas dan terstruktur untuk mendorong elektrifikasi transportasi tambang, termasuk melalui insentif pajak dan program subsidi konversi kendaraan.
Urgensi Kebijakan Insentif bagi Tambang Ramah Lingkungan
Meskipun kesadaran perusahaan tambang terhadap pentingnya transisi energi sudah mulai tumbuh, implementasi di lapangan masih sangat bergantung pada dukungan kebijakan dari pemerintah pusat. Kebijakan insentif fiskal seperti keringanan pajak, pembebasan bea impor peralatan ramah lingkungan, hingga skema pembiayaan hijau menjadi faktor penting dalam percepatan transformasi ini.
Anggawira menegaskan bahwa perusahaan tambang akan lebih terdorong untuk berubah jika insentif tersebut benar-benar diterapkan secara menyeluruh dan konsisten. Terlebih lagi, dengan adanya komitmen internasional Indonesia untuk menurunkan emisi sesuai Paris Agreement, sektor tambang perlu menjadi bagian dari solusi, bukan justru memperparah krisis iklim.
Implementasi PLTS di lokasi tambang, penggunaan kendaraan listrik, dan penanaman kembali kawasan pascatambang bukan hanya menjadi tuntutan moral, tetapi juga kebutuhan untuk menjaga keberlanjutan bisnis tambang ke depan.