JAKARTA - Usaha mikro dan ultramikro di Indonesia selama ini sering kali menjadi sasaran intervensi program pemerintah. Namun, pendekatan yang hanya fokus pada satu sisi, seperti pembiayaan atau pelatihan, dinilai belum efektif mendorong pelaku usaha untuk naik kelas. Dalam diskusi publik bertema pemberdayaan ekonomi nasional, sejumlah narasumber menekankan bahwa solusi tunggal bukan jawaban untuk kompleksitas tantangan UMKM saat ini.
Kementerian Koperasi dan UKM menyatakan bahwa pembangunan UMKM membutuhkan pendekatan sistemik yang mencakup akses pasar, literasi keuangan, penguatan kelembagaan, hingga pendampingan berkelanjutan. Semua elemen ini saling berhubungan dan tidak bisa dipisahkan jika ingin menciptakan pelaku usaha yang tangguh dan berdaya saing.
Pentingnya Legalitas dan Penyederhanaan Proses Usaha
Salah satu indikator penting dalam ekosistem usaha adalah legalitas. Pemerintah mencatat bahwa hingga pertengahan tahun 2025, sebanyak 1,4 juta pelaku usaha telah berhasil mendapatkan Nomor Induk Berusaha (NIB). Jumlah ini menambah total akumulasi NIB menjadi hampir 13 juta atau 83,72 persen dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029.
Meskipun capaian ini cukup signifikan, tantangan tetap muncul di lapangan. Banyak pelaku UMKM mengeluhkan proses sertifikasi yang berbelit dan membebani operasional usaha kecil. Sertifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI), misalnya, masih menjadi momok bagi banyak pelaku usaha karena dianggap rumit dan mahal. Sejumlah organisasi pelaku usaha juga mendesak agar regulasi disederhanakan dan terintegrasi dalam satu pintu layanan usaha mikro.
Di sisi lain, pemerintah didorong untuk menghapus tumpang tindih perizinan dan mempercepat proses sertifikasi, agar pelaku usaha tidak terhambat saat ingin menjangkau pasar lebih luas, baik domestik maupun ekspor.
Peran Strategis Pembiayaan Terstruktur dan Inklusif
Untuk mendukung akses modal yang lebih merata, pemerintah menargetkan penyaluran pembiayaan Ultra Mikro (UMi) sebesar Rp9,4 triliun kepada 1,47 juta debitur pada 2025. Hingga Juni 2025, realisasi program telah menyentuh angka Rp3,79 triliun dengan jumlah debitur mencapai lebih dari 745 ribu orang atau sekitar 50,7 persen dari target.
Data ini menunjukkan bahwa pelaku UMKM menanggapi positif program pembiayaan yang disediakan dengan bunga rendah dan mekanisme pembayaran yang fleksibel. Program UMi menjadi pelengkap dari Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan menyasar pelaku usaha kecil yang belum terlayani perbankan.
Kendati demikian, akses pembiayaan belum cukup jika tidak dibarengi dengan edukasi dan pengawasan. Oleh sebab itu, pemerintah dan mitra keuangan mendorong pelatihan manajemen keuangan dasar dan pencatatan usaha bagi debitur agar penggunaan dana lebih produktif.
Rekayasa Sosial untuk Dorong Kemandirian Usaha di Daerah
Selain aspek teknis dan finansial, perubahan budaya dan pola pikir juga memainkan peran penting dalam memberdayakan UMKM, terutama di wilayah pedesaan. Pemerintah mulai mengintegrasikan pendekatan rekayasa sosial dalam program pendampingan usaha, yang tujuannya adalah membentuk pola pikir wirausaha yang mandiri dan adaptif.
Program ini menyasar hambatan psikologis yang kerap ditemui pelaku usaha kecil, seperti rasa tidak percaya diri, ketergantungan bantuan, hingga kurangnya inisiatif mengembangkan usaha. Melalui kegiatan berbasis komunitas, pelaku usaha diajak untuk membangun jejaring, saling berbagi pengalaman, dan berkolaborasi memecahkan masalah.
Inisiatif ini juga banyak diterapkan pada segmen perempuan pelaku usaha yang kerap mengalami hambatan ganda dalam menjalankan usaha karena tanggung jawab domestik. Dengan pelatihan dan mentoring rutin, banyak perempuan mulai menunjukkan peran aktif sebagai penggerak ekonomi lokal.
Penguatan Inklusi Keuangan Melalui Skema Kelompok
Model pemberdayaan berbasis kelompok dinilai efektif dalam membentuk solidaritas sosial sekaligus memperluas akses informasi dan pembiayaan. Dalam skema ini, pelaku usaha dikelompokkan berdasarkan lokasi atau jenis usaha, lalu diberikan pelatihan, pendampingan, serta akses modal dari lembaga keuangan atau investor sosial.
Salah satu pendekatan inovatif yang mulai diterapkan adalah penggunaan surat utang sosial (social impact bond) untuk mendukung program pembiayaan mikro. Model ini memungkinkan pihak swasta dan lembaga donor untuk berkontribusi pada proyek pemberdayaan berbasis hasil (result-based financing).
Di beberapa wilayah, pendamping UMKM juga menjalin kerja sama dengan koperasi dan BUMDes untuk menyalurkan dana bergulir berbasis komunitas. Pendekatan ini terbukti memperkuat kedisiplinan dan akuntabilitas usaha mikro dalam mengelola pembiayaan.
Selain itu, pelatihan literasi keuangan digital juga mulai digencarkan, mengingat banyak pelaku UMKM kini sudah memanfaatkan platform online untuk pemasaran dan transaksi. Pemerintah berharap agar ke depan, seluruh pelaku UMKM tidak hanya naik kelas dalam skala usaha, tetapi juga naik kelas secara digital dan kompetitif dalam menghadapi pasar terbuka.