JAKARTA - Pemerintah resmi menetapkan sepuluh tokoh yang akan menerima gelar Pahlawan Nasional pada Senin, 10 November 2025. Salah satu nama yang menjadi sorotan publik adalah Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto.
Pengumuman tersebut akan disampaikan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto dalam peringatan Hari Pahlawan. Selain Soeharto, sembilan tokoh lain juga akan dianugerahi gelar serupa sebagai bentuk penghormatan negara atas jasa-jasanya.
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyampaikan bahwa keputusan itu diambil setelah melalui proses panjang dan penilaian mendalam oleh tim independen. Ia menyebut, seluruh tokoh yang terpilih memiliki kontribusi luar biasa dalam membangun dan menjaga keutuhan bangsa.
“Besok (hari ini), Insya Allah akan diumumkan. Kurang lebih sepuluh nama. Iya, (Presiden Soeharto) masuk,” ujar Prasetyo Hadi di Kertanegara, Jakarta Selatan.
Ia menambahkan, penganugerahan gelar tersebut bukan sekadar penghargaan simbolik, tetapi bentuk pengakuan negara atas dedikasi dan perjuangan para tokoh tersebut terhadap kemajuan Indonesia. “(Kesepuluh tokoh tersebut) sudah pasti memiliki jasa yang luar biasa terhadap bangsa dan negara,” lanjutnya.
Namun, keputusan pemerintah memasukkan nama Soeharto ke dalam daftar penerima gelar Pahlawan Nasional ini segera menuai kontroversi luas. Banyak pihak menilai langkah tersebut justru melukai semangat reformasi dan mencederai keadilan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.
Aktivis Soroti Pelanggaran HAM dan Tuntutan Reformasi
Penolakan terhadap rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto datang dari berbagai kelompok masyarakat sipil, termasuk kalangan aktivis dan lembaga bantuan hukum. Salah satu yang menyuarakan kritik adalah Fadhil, perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
Fadhil menilai bahwa keputusan pemerintah ini bertentangan dengan semangat reformasi 1998 yang menuntut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Menurutnya, langkah tersebut menunjukkan bahwa pemerintahan saat ini telah menjauh dari cita-cita reformasi.
“Pemberian gelar pahlawan ini adalah bukti konkret bahwa rezim yang dipimpin Prabowo Subianto saat ini telah melenceng jauh dari mandat dan tuntutan reformasi,” tegas Fadhil saat dihubungi secara terpisah.
Ia menjelaskan bahwa Soeharto selama berkuasa dianggap bertanggung jawab atas berbagai tindakan represif dan pelanggaran terhadap kebebasan warga negara. Dari pembungkaman pers hingga penghilangan paksa aktivis, semua menjadi catatan kelam yang belum pernah diselesaikan secara hukum hingga kini.
Bagi sebagian kalangan, langkah memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto dianggap sebagai upaya menghapus jejak sejarah dan menormalkan pelanggaran masa lalu. Fadhil menilai, negara seharusnya fokus pada penyelesaian kasus HAM, bukan malah memberikan penghormatan kepada pihak yang diduga terlibat di dalamnya.
Amnesty International: “Ini Skandal Politik yang Melanggar Batas”
Suara penolakan juga datang dari organisasi hak asasi manusia internasional. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dengan tegas menyebut keputusan pemerintah sebagai “skandal politik.”
Menurut Usman, langkah memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto menyalahi prinsip hukum dan moral negara yang diatur dalam Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998. Aturan tersebut, katanya, secara eksplisit menegaskan perlunya penegakan hukum terhadap dugaan korupsi dan pelanggaran HAM di masa pemerintahan Orde Baru.
“Keputusan itu jelas merupakan skandal politik. Pertama, menabrak batas-batas yuridis, khususnya TAP MPR No. XI/MPR/1998. TAP MPR produk reformasi itu sekarang menjadi sampah,” ungkap Usman Hamid dengan nada kecewa.
Ia menilai, dengan keputusan ini, pemerintah seakan menutup mata terhadap penderitaan korban dan keluarga yang masih menuntut keadilan. Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto dianggap sebagai bentuk penyangkalan terhadap fakta sejarah yang telah diakui publik.
“Langkah ini seolah menormalisasi kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di masa Orde Baru,” lanjut Usman. Menurutnya, jika negara ingin memberikan penghargaan, seharusnya diberikan kepada tokoh-tokoh yang benar-benar memperjuangkan kemanusiaan dan demokrasi, bukan yang memiliki catatan kelam.
Aktivis Reformasi Nilai Tak Ada Keteladanan dari Orde Baru
Selain organisasi HAM, sejumlah tokoh reformasi juga menyampaikan kekecewaannya. Adian Napitupulu, yang dikenal sebagai salah satu aktivis gerakan 1998, menolak keras langkah pemerintah memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto.
Ia menegaskan, Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto tidak memberikan teladan yang layak untuk diingat sebagai perjuangan kemanusiaan. Sebaliknya, rezim tersebut meninggalkan warisan otoritarianisme dan ketimpangan sosial yang panjang.
“Gelar itu kan karena ada hal-hal yang memang menjadi keteladanan, kemudian ada banyak alat ukur ya segala macam. Nah, Soeharto apa ya?” ujar Adian dengan nada retoris.
Baginya, gelar pahlawan nasional tidak seharusnya diberikan kepada sosok yang pernah memimpin dengan tangan besi dan menindas kebebasan rakyatnya sendiri. Ia khawatir, langkah ini justru menjadi preseden buruk dalam penilaian sejarah bangsa.
Adian juga mengingatkan bahwa perjuangan reformasi bukan sekadar menumbangkan rezim, tetapi menegakkan nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan hak asasi manusia. Ia menilai, keputusan pemerintah saat ini justru mengabaikan semangat tersebut dan berpotensi membuka luka lama bagi para korban pelanggaran HAM.
Meski demikian, pemerintah tetap berpegang pada pandangan bahwa pemberian gelar pahlawan didasarkan pada jasa besar seseorang terhadap bangsa, bukan semata-mata karena faktor politik. Namun, gelombang kritik yang datang dari berbagai kalangan menunjukkan bahwa publik masih menuntut transparansi dan keadilan dalam penentuan gelar kehormatan tersebut.
Antara Pengakuan dan Luka Sejarah
Kontroversi ini menandai perdebatan panjang antara penghargaan terhadap kontribusi masa lalu dan pengakuan atas kesalahan sejarah. Sebagian pihak berpendapat bahwa jasa Soeharto dalam pembangunan ekonomi dan stabilitas nasional tidak bisa diabaikan. Namun, di sisi lain, pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan korupsi yang terjadi selama pemerintahannya juga tak bisa dimaafkan begitu saja.
Polemik ini menegaskan bahwa penghormatan terhadap pahlawan tidak boleh diputuskan secara sepihak tanpa mempertimbangkan perasaan publik dan keadilan sejarah. Indonesia, yang dibangun di atas semangat reformasi dan demokrasi, seharusnya berhati-hati dalam menentukan siapa yang layak disebut pahlawan.
Keputusan ini, apa pun hasil akhirnya, akan menjadi catatan penting dalam perjalanan bangsa. Publik menunggu langkah pemerintah berikutnya: apakah akan menegaskan penghormatan berdasarkan jasa, atau kembali membuka ruang dialog untuk menimbang kembali arti sejati kepahlawanan.