JAKARTA - Harga minyak dunia mengalami penurunan signifikan pada Selasa, dengan kedua jenis minyak mentah utama, Brent dan West Texas Intermediate (WTI), mencatatkan penutupan terendah sejak awal bulan April. Anjloknya harga minyak ini dipicu oleh kekhawatiran investor terkait peningkatan produksi dari negara-negara anggota OPEC+ serta dampak lanjutan dari kebijakan tarif yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Kebijakan proteksionis yang diambil oleh AS semakin memperburuk prospek permintaan energi global, yang sudah tertekan akibat ketegangan perdagangan antara AS dan China, dua negara konsumen minyak terbesar di dunia.
Melansir laporan Reuters pada Rabu, harga minyak mentah Brent ditutup turun US$1,61 atau sekitar 2,4%, mencapai level US$64,25 per barel. Sementara itu, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) asal AS juga tercatat turun US$1,63 atau sekitar 2,6%, menjadi US$60,42 per barel. Penurunan harga ini terjadi setelah kedua jenis minyak tersebut mencatatkan penutupan terendah mereka sejak 10 April 2025.
Perang Dagang AS-China Memperburuk Sentimen Pasar
Ketegangan perdagangan antara AS dan China terus mempengaruhi pasar energi global. Kebijakan tarif yang diterapkan oleh Presiden Trump telah menciptakan ketidakpastian besar bagi perdagangan internasional. China, yang menjadi negara dengan jumlah impor terbesar dari AS, telah membalas dengan mengenakan tarif balasan terhadap produk-produk Amerika, memperburuk hubungan dagang antara kedua negara.
Menurut mayoritas ekonom dalam survei Reuters, kebijakan proteksionis yang diterapkan oleh Trump berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi global. Bahkan, beberapa analis memperkirakan kebijakan tersebut meningkatkan kemungkinan terjadinya resesi global dalam waktu dekat. "Setiap hari tanpa kesepakatan dagang besar membawa kita semakin dekat ke skenario kehancuran permintaan global," kata Bob Yawger, Direktur Energi Berjangka Mizuho. Ia menggarisbawahi bahwa ketidakpastian yang ditimbulkan oleh konflik perdagangan ini menyebabkan pelambatan dalam aktivitas ekonomi global, yang pada gilirannya mempengaruhi permintaan energi, termasuk minyak.
Peningkatan Produksi OPEC+ Tambah Tekanan
Di sisi lain, pasar energi juga dibayangi oleh keputusan negara-negara anggota OPEC+ yang mempertimbangkan untuk kembali meningkatkan produksi minyak pada bulan Juni mendatang. Beberapa sumber dari OPEC+ mengungkapkan bahwa negara-negara penghasil minyak dalam aliansi ini tengah mempertimbangkan untuk mempercepat peningkatan produksi guna mengimbangi penurunan permintaan akibat dampak kebijakan tarif dan ketegangan perdagangan.
Kazakhstan, yang juga merupakan anggota OPEC+, menunjukkan keengganan untuk mengurangi produksinya, bahkan justru meningkatkan ekspor minyak sebesar 7% pada kuartal pertama tahun 2025. Peningkatan ekspor ini didorong oleh tambahan pasokan minyak melalui pipa Kaspia, yang semakin menambah tekanan pada harga minyak global yang sudah tertekan.
"Jika rencana peningkatan produksi OPEC+ terwujud, itu akan semakin memperburuk sentimen pasar yang sudah sangat rapuh," kata seorang sumber yang dilansir oleh Reuters. Keputusan OPEC+ untuk meningkatkan produksi pada saat yang tidak tepat, ditengah-tengah ketidakpastian ekonomi global, menambah kekhawatiran akan terjadinya oversupply di pasar minyak.
Dampak Ekonomi dari Kebijakan Tarif Trump
Defisit perdagangan barang AS pada bulan Maret 2025 mencatatkan rekor tertinggi, yang sebagian besar disebabkan oleh lonjakan impor barang sebelum tarif yang diberlakukan oleh Trump mulai berlaku. Para pelaku bisnis mempercepat impor untuk menghindari dampak dari tarif yang lebih tinggi, yang menyebabkan defisit perdagangan membengkak. Hal ini menunjukkan bahwa perdagangan internasional semakin menjadi beban bagi perekonomian global, termasuk terhadap sektor energi.
"Perdagangan menjadi beban besar terhadap pertumbuhan ekonomi kuartal pertama. Ini menjadi indikasi bahwa ketegangan perdagangan dapat memperlambat laju pertumbuhan ekonomi global, yang pada gilirannya akan menekan permintaan energi, termasuk minyak," kata seorang ekonom yang terlibat dalam survei Reuters.
Dalam sektor energi, dampak dari ketegangan perdagangan ini telah dirasakan oleh perusahaan-perusahaan besar. BP, salah satu raksasa energi asal Inggris, melaporkan penurunan laba bersih sebesar 48% menjadi US$1,4 miliar. Penurunan laba ini sebagian besar disebabkan oleh lemahnya kinerja kilang dan perdagangan gas, yang turut dipengaruhi oleh ketidakpastian ekonomi global akibat perang dagang AS-China.
Persaingan Ketat di Pasar Minyak Global
Dampak dari perang dagang dan kebijakan OPEC+ ini juga terlihat pada fluktuasi harga minyak di pasar internasional. Pedagang minyak China terlihat mengambil keuntungan dari harga minyak yang terdiskon akibat tarif Trump dengan memborong minyak mentah. Pedagang ini berupaya menimbun minyak dengan harapan harga minyak akan kembali pulih di masa depan.
Namun, sentimen pasar tetap terjaga dalam ketidakpastian, dengan banyak pihak yang menunggu laporan stok minyak AS yang dirilis oleh American Petroleum Institute (API) pada Selasa, yang kemudian diikuti dengan laporan resmi dari Badan Informasi Energi (EIA) pada Rabu. Analis memperkirakan kenaikan stok minyak AS sekitar 500.000 barel pekan lalu, yang menandakan adanya peningkatan stok minyak lima minggu berturut-turut. Ini menunjukkan bahwa permintaan terhadap minyak masih berada dalam posisi yang lemah.
Sementara itu, pasar kini menanti laporan pendapatan dari perusahaan-perusahaan energi besar lainnya, seperti ExxonMobil dan Chevron, yang dijadwalkan akan dirilis dalam minggu ini. Laporan ini diharapkan akan memberikan gambaran lebih jelas mengenai kondisi pasar energi global ke depannya.
Prospek Permintaan Energi Global
Dengan ketidakpastian yang terus berkembang akibat perang dagang, kebijakan tarif yang semakin meluas, dan rencana peningkatan produksi OPEC+, prospek permintaan energi global terus berada di bawah tekanan. Ekonom dan analis memperkirakan bahwa jika ketegangan ini berlanjut, dunia bisa menghadapi penurunan permintaan energi yang lebih besar, terutama minyak, yang akan berimbas pada harga dan stabilitas pasar energi global.
Bob Yawger menegaskan, "Jika kesepakatan perdagangan yang lebih luas antara AS dan China tidak tercapai, pasar energi akan semakin terperosok dalam situasi yang penuh ketidakpastian." Menurutnya, ketidakpastian global ini akan terus menjadi hambatan bagi pemulihan pasar energi, khususnya dalam hal permintaan minyak yang berpotensi melemah lebih lanjut.
Dalam kondisi seperti ini, pasar energi dunia harus bersiap menghadapi fluktuasi harga yang tajam dan ketegangan geopolitik yang dapat berpengaruh besar pada stabilitas harga minyak global.