Logam

Harga Logam Industri Menurun, Pasar China Jadi Faktor Penentu

Harga Logam Industri Menurun, Pasar China Jadi Faktor Penentu
Harga Logam Industri Menurun, Pasar China Jadi Faktor Penentu

JAKARTA - Gejolak ekonomi dunia dan lesunya aktivitas industri di China semakin memukul stabilitas harga logam industri. Sejumlah komoditas utama seperti aluminium, timah, dan nikel mencatatkan pelemahan harga signifikan hingga pertengahan September 2025.

Data dari perdagangan Jumat, 19 September 2025 menunjukkan tren negatif pada sebagian besar logam industri. Harga aluminium terpantau melemah 0,88% ke level US$ 2.672,7 per ton. Sementara harga timah terkoreksi lebih dalam sebesar 1,85% ke posisi US$ 33.711 per ton.

Tak hanya itu, nikel juga mengalami tekanan dengan penurunan harga sebesar 0,42% dan diperdagangkan di angka US$ 15.270 per ton. Ketiga logam tersebut sebelumnya menjadi andalan dalam sektor industri dan teknologi, kini rentan terdampak perlambatan ekonomi global.

Presiden Komisioner HFX International Berjangka, Sutopo Widodo menilai bahwa pelemahan tersebut sangat dipengaruhi oleh kelesuan permintaan, khususnya dari China sebagai konsumen logam terbesar dunia.

China Melambat, Harga Logam Dunia Ikut Tertekan

Kondisi perekonomian Tiongkok memang sedang mengalami tekanan dalam beberapa bulan terakhir. Menurut Sutopo, sejumlah indikator makroekonomi menunjukkan perlambatan produksi industri dan bahkan kontraksi aktivitas pabrik di negara tersebut.

“Data makroekonomi dari Tiongkok terus menunjukkan perlambatan produksi industri dan kontraksi aktivitas pabrik,” ujar Sutopo pada Jumat, 19 September 2025.

China sebagai negara dengan konsumsi logam industri tertinggi, menjadi penentu utama pergerakan harga. Ketika permintaan dari China melemah, pasar global langsung merespons dengan tekanan harga.

Di sisi lain, pasokan logam di beberapa komoditas seperti nikel justru masih melimpah. Kondisi ini semakin memperburuk tekanan harga di pasar. Kelebihan pasokan tanpa diimbangi dengan peningkatan permintaan menciptakan surplus yang menekan nilai jual.

Namun demikian, faktor geopolitik dan gangguan pada rantai pasokan di sejumlah negara produsen juga sempat menciptakan tekanan sebaliknya. Untuk timah dan aluminium, gangguan produksi di Myanmar serta faktor logistik global membuat harga sempat mendapat dukungan jangka pendek.

Peran Kebijakan The Fed dan Ketidakpastian Pasokan

Selain faktor fundamental permintaan dan penawaran, kebijakan moneter dari bank sentral Amerika Serikat juga ikut memengaruhi dinamika harga logam industri. The Federal Reserve (The Fed), melalui arah suku bunganya, memicu fluktuasi pada nilai tukar dolar AS.

“Kebijakan The Fed memengaruhi nilai dolar AS, yang memiliki hubungan terbalik dengan harga komoditas,” jelas Sutopo.

Saat dolar menguat, harga komoditas seperti logam industri cenderung turun karena menjadi lebih mahal bagi pembeli non-dolar. Sebaliknya, pelemahan dolar dapat mendorong kenaikan harga komoditas.

Masih dari sisi pasokan, sejumlah negara produsen logam seperti Indonesia dan Myanmar dihadapkan pada kebijakan domestik dan kondisi geopolitik yang tidak stabil. Hal ini memunculkan risiko baru yang dapat mengganggu distribusi global.

Indonesia, misalnya, terus melakukan pengawasan ketat terhadap kuota ekspor nikel. Kebijakan pembatasan tambang oleh pemerintah dinilai dapat menciptakan ketidakpastian di pasar dan memengaruhi ketersediaan global.

“Masalah operasional dan geopolitik di negara-negara produsen utama akan terus menjadi faktor risiko,” tambah Sutopo.

Prediksi Harga Logam Industri Hingga Akhir Tahun

Melihat tren dan sentimen yang berkembang, Sutopo memperkirakan pergerakan harga logam industri masih akan dipengaruhi oleh dua hal besar: kondisi ekonomi China dan arah kebijakan ekonomi negara maju.

Dengan mempertimbangkan suplai dan permintaan, harga aluminium diperkirakan akan berada di rentang US$ 2.600 hingga US$ 2.800 per ton. Perkiraan ini juga mempertimbangkan potensi gangguan suplai dari negara-negara produsen utama.

Sementara untuk timah, meskipun saat ini sempat tertekan, harga diperkirakan akan bergerak di kisaran US$ 34.000 hingga US$ 36.000 per ton. Kelangkaan pasokan yang berlanjut bisa mendorong harga naik dalam jangka menengah.

Adapun untuk nikel, tekanan diprediksi masih akan berlanjut hingga akhir tahun. Kelebihan pasokan menjadi faktor utama yang menahan kenaikan harga. “Nikel akan tetap berada di bawah tekanan seiring surplus pasokan,” kata Sutopo.

Berdasarkan analisisnya, harga nikel berpotensi bertahan di kisaran US$ 14.500 hingga US$ 16.000 per ton sampai penutupan tahun 2025, kecuali terjadi perubahan signifikan pada permintaan global atau kebijakan tambang.

Tantangan Global Masih Membayangi

Dengan kondisi pasar global yang masih diliputi ketidakpastian, pelaku industri logam maupun investor perlu mewaspadai berbagai faktor eksternal. Ketergantungan pasar terhadap konsumsi China menjadikan ekonomi negara tersebut sebagai indikator utama bagi arah harga logam industri.

Belum lagi ketidakstabilan geopolitik, ketegangan perdagangan, serta volatilitas kebijakan suku bunga di negara-negara maju akan terus menjadi penentu utama iklim komoditas global.

Seluruh dinamika tersebut menjadikan harga logam industri sebagai barometer kondisi ekonomi global. Fluktuasi harga tidak hanya mencerminkan neraca permintaan dan pasokan, tetapi juga menunjukkan sentimen pasar terhadap arah ekonomi dunia ke depan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index