Mobil Listrik

Mobil Listrik Naik Harga Usai Insentif Dihentikan Pemerintah

Mobil Listrik Naik Harga Usai Insentif Dihentikan Pemerintah
Mobil Listrik Naik Harga Usai Insentif Dihentikan Pemerintah

JAKARTA - Tahun 2026 diperkirakan akan menjadi masa transisi penting bagi industri mobil listrik di Indonesia. Pemerintah tidak berencana memperpanjang insentif untuk mobil listrik impor secara utuh atau completely built-up (CBU) yang berlaku hingga Desember 2025.

Kebijakan ini akan berdampak langsung terhadap harga jual kendaraan listrik, terutama bagi model-model yang masih didatangkan langsung dari luar negeri. Tanpa insentif, konsumen perlu bersiap menghadapi kenaikan harga yang signifikan.

Langkah pemerintah ini bukan tanpa tujuan. Dorongan besar diberikan kepada para pabrikan otomotif untuk segera merealisasikan rencana investasi mereka dalam bentuk produksi lokal mobil listrik berbasis baterai (BEV).

Dengan berakhirnya insentif impor, arah kebijakan nasional kini semakin condong ke dalam negeri: Indonesia tidak hanya ingin menjadi pasar, tapi juga basis produksi EV yang kompetitif.

Pabrikan Dituntut Percepat Produksi Dalam Negeri

Pengamat otomotif Bebin Djuana menyoroti bahwa faktor utama yang akan menentukan harga jual kendaraan listrik di masa depan adalah efisiensi produksi lokal.

Menurutnya, jika pabrikan belum siap dan mobil listrik masih harus diimpor dari negara asal, maka beban harga akan otomatis naik. Kenaikannya pun tidak ringan.

“Kalau pabrik belum siap dan kendaraan masih harus didatangkan dari negara asal, konsumen harus siap membayar lebih mahal, sekitar 20%–30%,” jelas Bebin, Minggu, 21 September 2025.

Hal ini menjadi sinyal peringatan bagi industri otomotif agar segera mempercepat pembangunan pabrik, sekaligus memastikan bahwa kualitas produksi lokal bisa menyaingi produksi luar negeri.

Konsumen, tambah Bebin, cenderung rasional dalam mempertimbangkan harga dan kualitas. Jika harga naik namun tidak diikuti kualitas atau layanan purna jual yang sebanding, maka pasar akan merespons dengan penurunan minat beli.

Efisiensi Produksi Jadi Tolak Ukur Daya Saing

Kesiapan pabrik di dalam negeri menjadi indikator utama apakah kendaraan listrik dapat dijual dengan harga bersaing. Bebin menegaskan bahwa efisiensi lini produksi akan sangat menentukan struktur biaya akhir.

“Jika produksi lokal berjalan lancar dan efisien, harga jual bisa lebih kompetitif,” ujar Bebin.

Namun sebaliknya, jika produksi lokal justru kurang efisien dibandingkan negara asal, maka semua biaya tambahan tetap akan dibebankan ke konsumen. Situasi ini bisa menjadi tantangan besar, apalagi jika harga EV impor mulai mendekati titik tak terjangkau.

Faktor lain yang juga akan dinilai konsumen adalah ketersediaan suku cadang lokal. Pasar tidak hanya sensitif terhadap harga jual, tetapi juga terhadap biaya perawatan jangka panjang dan ketersediaan dukungan teknis.

Segmen Menengah Bawah Paling Rentan Kena Dampak

Salah satu kekhawatiran terbesar yang disampaikan Bebin adalah potensi dampak kenaikan harga terhadap segmen pasar menengah ke bawah.

“Segmen ini masih dalam tahap pemulihan daya beli. Kalau harga EV melonjak, mereka bisa jadi batal beralih ke kendaraan listrik,” kata Bebin.

Kondisi ini berpotensi memperlambat adopsi kendaraan listrik secara massal, padahal transformasi energi bersih tengah didorong di berbagai sektor. Maka, keterjangkauan harga menjadi kunci agar EV dapat diterima lebih luas di pasar domestik.

Pembangunan pabrik EV lokal pun tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Bebin menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan memberi kelonggaran waktu tambahan kepada pabrikan agar benar-benar siap berproduksi dengan standar tinggi.

Kesiapan Pabrikan Lokal Masih Jadi PR

Meskipun beberapa merek seperti VinFast, Hyundai, dan Wuling telah menunjukkan komitmen investasi di Indonesia, realisasi produksi skala besar tetap membutuhkan waktu dan perencanaan yang matang.

Tak hanya soal infrastruktur pabrik, tetapi juga pelatihan tenaga kerja, pengembangan rantai pasok lokal, dan standarisasi kualitas produk.

“Semata-mata agar pabrik di sini punya cukup waktu untuk mempersiapkan produk siap jual yang setara dengan negara asal,” ujar Bebin lagi.

Jika seluruh elemen itu belum siap, maka risiko kenaikan harga akan sangat sulit dihindari. Apalagi jika pabrikan masih mengandalkan unit impor dalam jumlah besar untuk memenuhi permintaan pasar dalam negeri.

Tantangan dan Peluang ke Depan

Kebijakan pemerintah yang tak memperpanjang insentif CBU EV memang memaksa pabrikan untuk berinvestasi lebih dalam negeri. Namun, kebijakan ini juga membuka peluang besar untuk menciptakan ekosistem industri kendaraan listrik yang lebih mandiri.

Dengan adanya basis produksi lokal, Indonesia bisa menjadi hub regional untuk ekspor EV ke negara-negara tetangga. Tapi, semua itu akan bergantung pada seberapa cepat dan efisien realisasi investasi dilakukan.

Tahun 2026 menjadi penanda penting apakah Indonesia bisa benar-benar berdiri di atas kaki sendiri dalam industri kendaraan listrik.

Jika produksi lokal berhasil, harga bisa tetap kompetitif dan adopsi EV terus meningkat. Namun jika tidak, konsumen dan pasar bisa menghadapi kenaikan harga yang tidak diinginkan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index