JAKARTA - Harga kelapa di Indonesia mengalami lonjakan signifikan, mencapai kisaran Rp6.400 hingga Rp6.800 per kilogram. Kenaikan ini disambut baik oleh para petani kelapa yang selama bertahun-tahun menghadapi harga rendah. Namun, di balik euforia tersebut, muncul kekhawatiran dari kalangan industri yang mengusulkan moratorium ekspor kelapa selama enam bulan.
Ketua Perhimpunan Petani Kelapa Indonesia (PERPEKINDO), Muhaemin Tallo, menolak keras usulan moratorium tersebut. Ia menegaskan bahwa kenaikan harga kelapa merupakan bentuk keadilan bagi petani yang telah puluhan tahun terpuruk akibat rendahnya harga komoditas tersebut. "Sejak era 1990-an, minyak kelapa perlahan tergantikan oleh minyak sawit. Harga kelapa anjlok dan bertahan di Rp1.000–Rp1.500/kg selama lebih dari 10 tahun. Pemerintah dan industri diam saja saat petani kelapa menjerit. Kini ketika harga membaik, tiba-tiba semua panik," kata Muhaemin.
PERPEKINDO mencatat bahwa lonjakan harga kelapa saat ini telah memicu semangat petani untuk melakukan replanting atau penanaman ulang di berbagai daerah. Hal ini dinilai sebagai momentum penting untuk mengembalikan kejayaan kelapa Indonesia yang sempat meredup. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, luas areal tanam kelapa terus menurun, dari 3,9 juta hektar pada 1990 menjadi hanya 3,2 juta hektar pada 2024. Penurunan ini sebagian besar disebabkan oleh harga kelapa yang tidak menguntungkan, sehingga banyak petani memilih mengalihkan lahannya menjadi perkebunan sawit atau tambang, terutama di wilayah Maluku, Sulawesi, dan Sumatera.
Data PERPEKINDO mencatat, sekitar 6 juta kepala keluarga menggantungkan hidup dari sektor kelapa, dengan total lebih dari 18 juta jiwa termasuk anak-anak dan pekerja pendukung seperti tukang panjat dan pengupas kelapa. "Terdapat sekitar 6 juta kepala keluarga petani kelapa di Indonesia. Jika dihitung dengan tanggungan keluarga (rata-rata 2 anak per petani), ada 18 juta jiwa yang bergantung pada sektor ini. Belum termasuk tukang panjat dan tukang kupas kelapa," jelas Muhaemin.
PERPEKINDO menegaskan bahwa ekspor kelapa justru menjadi insentif penting bagi petani untuk merawat dan memperbaharui kebun mereka. Menurutnya, moratorium ekspor hanya akan mematikan semangat petani yang baru saja tumbuh kembali. Dengan semangat yang mulai bangkit, para petani berharap pemerintah lebih berpihak pada kesejahteraan petani kelapa, bukan hanya pada kepentingan industri. "Kami petani kelapa sudah menderita puluhan tahun. Jangan kembalikan kami ke masa kelam itu. Beri kami hak untuk sejahtera," pungkas Muhaemin.
Sementara itu, Menteri Perdagangan menyebut bahwa salah satu penyebab naiknya harga kelapa bulat di pasar adalah permintaan ekspor yang meningkat, sehingga stok menipis menjelang Lebaran. "Kelapa itu kan banyak permintaan ekspor, terus industri di dalam negeri juga banyak minta," ujarnya. Ia juga menyampaikan bahwa kementerian akan melakukan evaluasi guna mengantisipasi dan menstabilkan harga kelapa bulat. "Kita akan evaluasi bareng-bareng, dari sisi industri, dari sisi eksportir, petani, harus berkumpul bareng," tambahnya.
Badan Pusat Statistik mencatat ekspor kelapa bulat di dalam kulit Indonesia mencapai 71.077 ton sepanjang Januari-Februari 2025. Beberapa negara tujuan ekspor kelapa bulat antara lain Tiongkok, Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Pada 2021, nilai ekspor kelapa bulat mencapai 102,9 juta dolar AS dengan volume 431.841 ton. Pada 2022, tercatat jumlah ekspornya sebesar 65,6 juta dolar AS dengan volume 288.286 ton. Selanjutnya, pada 2023 tercatat ekspor sebesar 380.883 ton dan meningkat di 2024 menjadi 431.915 ton.
Kelapa Indonesia diekspor dalam 22 jenis produk, di antaranya kelapa bulat, bungkil, minyak, santan, kelapa parut, air kelapa, tepung, serbuk (media tanam), gula kelapa, dan tempurung. Seluruh produk turunan kelapa ini dapat dilakukan ekspor tanpa melalui perjanjian protokol bilateral antarnegara.
Pengamat dari lembaga riset ekonomi menyarankan pemberlakuan pembatasan kuota ekspor kelapa serta pengenaan bea keluar atau pungutan ekspor terhadap komoditas tersebut. "Untuk hal ini, kita bisa meniru skema pungutan sawit. Ini sekaligus menjadi momentum bagi negara untuk mendapatkan tambahan pendapatan dari pungutan kelapa," ungkapnya. Ia menambahkan bahwa regulasi semacam ini juga bisa mendorong hilirisasi industri kelapa, sehingga memberikan nilai tambah lebih besar bagi ekonomi nasional.
Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (Hipki) telah lama menyuarakan pentingnya regulasi untuk ekspor kelapa bulat. Ketua Bidang Industri Aneka Produk Kelapa Hipki, Dippos Naloanro, menyoroti penurunan produksi kelapa secara nasional yang mencapai 60 persen. Ia menegaskan bahwa kondisi ini diperparah oleh tidak adanya kebijakan pemerintah terkait ekspor kelapa bulat. "Indonesia menjadi satu-satunya negara penghasil kelapa di dunia yang masih membiarkan ekspor kelapa bulat tanpa regulasi. Ini memprihatinkan karena mengancam keberlanjutan industri kelapa lokal," ujarnya.
Dippos juga memperingatkan bahwa tanpa tindakan nyata dari pemerintah dalam tiga bulan ke depan, situasi ini berpotensi memburuk. Ia mendesak adanya kebijakan penyelamatan untuk memastikan industri kelapa tetap bertahan dan tidak semakin terpuruk. Hipki menyoroti pentingnya regulasi ini untuk memastikan keberlanjutan pasokan bahan baku bagi industri lokal. Selain itu, pungutan ekspor dinilai sebagai cara efektif untuk meningkatkan pendapatan negara sekaligus memacu pelaku industri mengolah kelapa menjadi produk bernilai tambah, seperti minyak kelapa, arang, atau produk turunan lainnya.
Dengan berbagai pandangan yang muncul, pemerintah diharapkan dapat mengambil langkah bijak yang mempertimbangkan kesejahteraan petani, keberlanjutan industri, dan stabilitas pasar domestik. Keseimbangan antara ekspor dan kebutuhan dalam negeri menjadi kunci untuk menjaga ekosistem kelapa Indonesia tetap sehat dan berkelanjutan.