Harga Minyak Dunia Terjun Bebas, Alami Penurunan Bulanan Terdalam Sejak 2021 Akibat Sinyal Saudi dan Perang Dagang

Kamis, 01 Mei 2025 | 08:11:38 WIB
Harga Minyak Dunia Terjun Bebas, Alami Penurunan Bulanan Terdalam Sejak 2021 Akibat Sinyal Saudi dan Perang Dagang

JAKARTA - Harga minyak mentah global mencatat penurunan tajam pada perdagangan hari Rabu, menandai penurunan bulanan paling signifikan sejak akhir tahun 2021. Langkah Arab Saudi yang memberi sinyal siap meningkatkan produksi demi memperbesar pangsa pasar, di tengah kekhawatiran permintaan melemah karena meningkatnya tensi perang dagang global, menjadi pemicu utama anjloknya harga komoditas energi ini.

Berdasarkan data yang dikutip dari Reuters, harga minyak Brent ditutup turun sebesar US$ 1,13 atau 1,76 persen menjadi US$ 63,12 per barel. Sementara itu, harga West Texas Intermediate (WTI) mengalami penurunan lebih tajam, anjlok US$ 2,21 atau setara 3,66 persen ke level US$ 58,21 per barel. Harga tersebut menjadi yang terendah sejak Maret 2021, mencerminkan tekanan besar yang sedang dihadapi pasar minyak saat ini.

Secara bulanan, Brent mengalami penurunan sekitar 15 persen, sementara WTI merosot lebih dalam hingga 18 persen. Kedua angka ini mencatatkan penurunan bulanan terbesar dalam hampir tiga setengah tahun terakhir, tepatnya sejak November 2021. Para pelaku pasar kini mencermati sinyal bahwa Arab Saudi, produsen utama dalam kartel OPEC+, mulai mengubah pendekatannya dalam menjaga stabilitas harga.

"Ini menimbulkan kekhawatiran bahwa kita mungkin sedang menuju perang produksi baru. Apakah Arab Saudi sedang mengirim sinyal bahwa mereka ingin merebut kembali pangsa pasar? Kita tunggu saja," kata Phil Flynn, analis senior di Price Futures Group, memberikan pandangannya terkait arah kebijakan produsen terbesar dunia tersebut.

Pernyataan tersebut muncul setelah Arab Saudi, yang selama ini menjadi penyeimbang pasar melalui pembatasan produksi, kini justru mengindikasikan keinginan untuk meningkatkan produksi minyak. Di awal bulan April, Riyadh bahkan dilaporkan mendorong peningkatan pasokan dari OPEC+ untuk bulan Mei, lebih besar dari rencana awal yang telah disepakati. Sumber dalam OPEC+ menyebut bahwa beberapa negara anggota akan kembali mengusulkan kenaikan produksi pada pertemuan resmi yang dijadwalkan berlangsung pada 5 Mei mendatang.

Kebijakan ini jelas menjadi perubahan signifikan dalam strategi OPEC+, terutama setelah bertahun-tahun menahan produksi guna menopang harga di tengah fluktuasi permintaan global akibat pandemi dan ketidakpastian ekonomi. Langkah agresif Saudi dipandang oleh sebagian analis sebagai upaya merebut kembali pangsa pasar dari produsen lain, khususnya Amerika Serikat dan Rusia, yang dalam beberapa tahun terakhir mulai meningkatkan kapasitas produksinya secara agresif.

Namun di sisi lain, permintaan global terhadap minyak mentah juga sedang dalam tekanan besar akibat memanasnya tensi geopolitik dan ekonomi, terutama antara dua ekonomi terbesar dunia, Amerika Serikat dan China. Presiden AS Donald Trump pada awal April mengumumkan pemberlakuan tarif tambahan terhadap seluruh barang impor, kebijakan yang langsung dibalas oleh China dengan pengenaan bea masuk balasan. Aksi saling balas tarif ini telah meningkatkan ketegangan dagang yang berisiko memicu perlambatan aktivitas ekonomi secara luas.

Perang dagang tersebut secara langsung turut menggerus permintaan minyak global, mengingat sektor perdagangan dan transportasi menjadi salah satu penyumbang utama konsumsi energi dunia. Pavel Molchanov, analis strategi investasi dari Raymond James, menegaskan bahwa dampak perang dagang tidak bisa dipandang sebelah mata. “Perang dagang secara langsung memangkas permintaan minyak dan menghambat mobilitas konsumen. Dikombinasikan dengan pelonggaran pemangkasan produksi OPEC, risiko kelebihan pasokan pun meningkat,” ujar Molchanov.

Tekanan terhadap harga minyak semakin parah setelah rilis data ekonomi dari Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi negara tersebut mengalami kontraksi pada kuartal pertama 2025. Kontraksi ini disebabkan oleh lonjakan impor menjelang pemberlakuan tarif baru, yang mencerminkan kekhawatiran pelaku usaha terhadap prospek ekonomi ke depan. Survei yang dilakukan oleh Reuters menunjukkan bahwa kebijakan tarif dari Presiden Trump berpotensi menyeret ekonomi global ke dalam jurang resesi tahun ini.

Sentimen negatif juga terlihat dari laporan indeks kepercayaan konsumen Amerika Serikat yang jatuh ke titik terendah dalam hampir lima tahun terakhir. Turunnya keyakinan masyarakat terhadap kondisi ekonomi masa depan menjadi indikator tambahan bahwa permintaan energi kemungkinan besar tidak akan pulih dalam waktu dekat.

Meski demikian, terdapat sedikit penahan terhadap kejatuhan harga minyak berkat laporan dari Badan Informasi Energi AS (EIA) yang menunjukkan bahwa persediaan minyak mentah Amerika Serikat turun signifikan. Dalam laporan mingguan yang dirilis pada Rabu (30/4), EIA mencatat bahwa stok minyak mentah AS berkurang sebesar 2,7 juta barel, menjadi total 440,4 juta barel pada pekan yang berakhir 25 April. Angka ini jauh dari ekspektasi analis yang sebelumnya memperkirakan kenaikan stok sebanyak 429 ribu barel. Penurunan tak terduga dalam inventaris minyak ini memberikan dukungan jangka pendek terhadap pasar yang tengah tertekan.

Namun, data tersebut dinilai tidak cukup kuat untuk mengimbangi tekanan besar dari sisi fundamental yang lebih luas, yakni prospek pelemahan permintaan global dan potensi banjir pasokan baru dari produsen utama. Ketidakpastian arah kebijakan produksi OPEC+, kondisi geopolitik yang tak menentu, serta memburuknya indikator ekonomi utama dunia menjadi kombinasi faktor yang dapat membuat harga minyak tetap berada dalam tren penurunan dalam jangka menengah hingga panjang.

Dengan demikian, para pelaku pasar kini menantikan hasil pertemuan OPEC+ yang akan datang, serta perkembangan lanjutan dari kebijakan perdagangan Amerika Serikat dan China, sebagai penentu utama arah pergerakan harga minyak ke depan. Hingga saat ini, pelaku industri masih dibayangi oleh kekhawatiran bahwa harga minyak akan terus berada di bawah tekanan jika tidak ada langkah signifikan yang diambil untuk menyeimbangkan kembali pasar global yang tengah terguncang.

Terkini

Spinjam Cair Berapa Lama? Simak Penjelasan Ini!

Senin, 22 September 2025 | 23:32:15 WIB

Hukum Zakat Emas Perhiasan dan Cara Menghitungnya

Senin, 22 September 2025 | 23:32:11 WIB

Simulasi KPR BTN Terbaru, Berdasarkan Harga dan Tenor Rumah

Senin, 22 September 2025 | 23:32:09 WIB

7 Rekomendasi Harga Tv Led 32 Inch Terbaik di Indonesia 2025

Senin, 22 September 2025 | 23:32:07 WIB