JAKARTA - Bertani mungkin bukan pekerjaan yang dianggap glamor oleh sebagian orang, tetapi bagi Dandi, seorang petani muda asal Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, bertani adalah sebuah jalan hidup yang penuh semangat dan ketekunan. Dandi, atau yang akrab dipanggil Damri, telah membuktikan bahwa meskipun bertani penuh tantangan, komoditas seperti mentimun dapat menjadi sumber penghidupan yang tidak hanya memberikan keuntungan finansial, tetapi juga memberikan harapan yang segar untuk masa depan.
Dandi pertama kali saya temui pada tahun 2022 di sebuah sarasehan petani milenial di Makassar, yang mengumpulkan para petani muda se-Indonesia. Saat itu, ia datang sebagai perwakilan dari petani binaan Badan Litbang Pertanian, yang kini dikenal sebagai BRMP Kementan. Pertemuan itu tak hanya membekas dalam ingatan saya, tetapi juga menumbuhkan rasa penasaran terhadap perjalanan hidup Dandi sebagai seorang petani.
Beberapa waktu lalu, saya memutuskan untuk menghubungi Dandi melalui telepon, rasa penasaran saya berkembang setelah beberapa kali melihat unggahan media sosialnya yang penuh dengan aktivitas pertanian, terutama dalam menanam mentimun. Saat berbicara dengannya, saya mendengar langsung cerita mengenai usahanya dalam bertani, yang dilalui dengan penuh semangat dan ketulusan.
Dandi tinggal di Lingkungan Padang Malolo, Kelurahan Sinyonyoi Selatan, Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat. Ia tergabung dalam Kelompok Tani Sipempadangan, yang menjadi wadah bagi dirinya dan para petani lainnya untuk berkembang. Dalam lima tahun terakhir, Dandi telah sepenuh hati menggeluti budidaya mentimun. Sebelumnya, ia sempat mencoba menanam pepaya, namun gagal akibat cuaca ekstrem dan banjir yang merusak lahan taninya. Kegagalan itu tidak membuatnya patah semangat. Sebaliknya, Dandi kembali fokus pada tanaman mentimun, yang ia anggap sebagai sahabat setianya dalam dunia pertanian.
“Mentimun itu cepat perputarannya, Pak,” ujarnya. “Empat puluh hari sudah bisa panen, dua bulan sudah habis masa tanamnya.” Dari 2.000 pohon mentimun yang ditanamnya, Dandi bisa meraup pendapatan bersih sekitar 15 hingga 17 juta rupiah, asalkan harga di pasar sedang stabil.
Namun, tidak seperti petani hortikultura lainnya, Dandi juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa harga pasar bisa berfluktuasi drastis. Pada beberapa kesempatan, harga mentimun yang anjlok membuat kerja kerasnya selama berbulan-bulan hanya terbayar dengan senyum yang terpaksa dipaksakan. Meskipun begitu, semangatnya untuk bertani tidak pernah luntur.
“Selama lima tahun ini, Alhamdulillah mentimun membuat saya tetap kuat, tetap bertani, Pak,” katanya. Dari nada suaranya, saya bisa merasakan betapa dalamnya keteguhan hatinya. Meskipun hidup sebagai petani sering kali penuh dengan ketidakpastian, Dandi tetap melanjutkan usahanya, berusaha untuk tidak mengeluh, dan lebih banyak berbicara dengan jujur tentang tantangan yang dihadapinya.
Dandi juga mengungkapkan harapannya terkait dunia pertanian, terutama kepada pemerintah dan siapa pun yang peduli pada nasib petani. “Kami hanya ingin diberi motivasi, Pak. Dikasih support, itu saja. Supaya tetap semangat bertani,” katanya dengan nada yang rendah hati. Kata-kata ini menggugah saya untuk lebih menghargai perjuangan petani seperti Dandi, yang meskipun sering kali terlupakan dalam hiruk-pikuk dunia modern, sebenarnya adalah pahlawan yang mendukung ketahanan pangan bangsa.
Sebagai seorang penyuluh pertanian, saya merasa bertanggung jawab tidak hanya untuk memberikan bimbingan teknis, tetapi juga untuk menjadi penghubung antara suara petani dan para pemangku kebijakan. Kisah Dandi menunjukkan bahwa pertanian, khususnya tanaman hortikultura seperti mentimun, bukan hanya sekadar komoditas musiman. Dengan pengelolaan yang baik dan berkelanjutan, pertanian bisa menjadi sumber kehidupan yang menjanjikan bagi banyak orang.
Dandi adalah contoh nyata bahwa ketekunan dan kejujuran dalam bertani bisa membuka peluang yang lebih besar. Bahkan, ia telah membuktikan bahwa komoditas yang dianggap sederhana seperti mentimun bisa memberikan harapan bagi masa depan. Baginya, bertani bukan hanya tentang memanen hasil, tetapi juga tentang memberi kehidupan pada tanah, tanaman, dan diri sendiri.
Saya tak bisa menahan diri untuk berpikir, betapa banyak dari kita yang sering melupakan petani-petani seperti Dandi. Mereka bukan hanya membutuhkan alat dan subsidi, tetapi juga dukungan moral dan penghargaan atas kerja keras mereka. Dandi dan petani muda lainnya adalah pilar masa depan pangan kita. Mereka bekerja diam-diam, mengolah tanah, menanam benih, dan menyirami harapan.
Untuk itu, kita semua yang peduli dengan masa depan pangan negara, harus membantu petani seperti Dandi agar tidak berjuang sendirian. Salah satu cara sederhana yang bisa dilakukan adalah dengan membeli hasil tani mereka dan memberi dukungan positif untuk terus bertahan. Keberadaan petani seperti Dandi adalah bagian dari ekosistem pertanian yang harus kita hargai dan beri semangat.
Kisah Dandi mengingatkan kita bahwa harapan bisa tumbuh dari ladang-ladang sederhana. Bahkan dari tanaman yang sering dianggap sepele seperti mentimun, seorang petani muda bisa membuktikan bahwa dengan ketekunan, semangat, dan kejujuran, mereka mampu menciptakan kehidupan yang lebih baik, dan menginspirasi banyak orang. Seperti mentimun yang segar di musim panen, semangat Dandi terus memberi kehidupan dan menyegarkan harapan baru bagi dunia pertanian.