JAKARTA - Harga batu bara kembali mencatatkan kenaikan signifikan dalam beberapa hari terakhir. Tren positif ini membuat harga batu bara termal internasional menembus angka USD 104 per ton pada 6 Mei 2025. Angka tersebut merupakan level tertinggi dalam beberapa bulan terakhir, setelah pada akhir April 2025 sempat menyentuh angka USD 100 per ton. Kenaikan harga ini menjadi sinyal positif bagi produsen batu bara, termasuk Indonesia yang menjadi pemain besar di pasar global.
Berdasarkan laporan yang dikutip dari CNBC Indonesia dan merujuk data theinvestor.vn, permintaan batu bara dari Vietnam menjadi salah satu pemicu utama kenaikan harga. Negara tersebut mencatatkan impor batu bara sebanyak 17,27 juta ton hanya dalam kuartal pertama 2025. Seluruh batu bara yang diimpor Vietnam tersebut diperuntukkan untuk operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di dalam negeri.
Indonesia Dominasi Ekspor ke Vietnam
Dalam struktur perdagangan tersebut, Indonesia tampil sebagai pemasok utama untuk kebutuhan batu bara Vietnam. Dari total impor batu bara Vietnam pada kuartal I 2025, lebih dari 40 persen di antaranya berasal dari Indonesia. Hal ini sekaligus memperkuat posisi Indonesia sebagai eksportir batu bara termal yang kompetitif, tidak hanya di kawasan Asia Tenggara tetapi juga secara global.
Kondisi ini menjadi angin segar bagi industri pertambangan batu bara di Indonesia yang sebelumnya sempat mengalami tekanan akibat penurunan harga dalam beberapa tahun terakhir. Dalam kurun waktu empat tahun, harga batu bara termal Asia mengalami tren penurunan. Penyebabnya adalah penurunan permintaan dari negara-negara importir utama seperti China, Jepang, dan India.
Penurunan permintaan di negara-negara tersebut bukan tanpa alasan. Selain karena kelebihan pasokan, transisi menuju energi ramah lingkungan dan kebijakan diversifikasi energi turut mendorong negara-negara tersebut untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara. Namun begitu, permintaan dari negara-negara berkembang seperti Vietnam tetap tinggi karena masih mengandalkan PLTU sebagai tulang punggung penyediaan listrik.
Dampak terhadap Indonesia: Positif untuk Ekspor, Waspada Nilai Tukar
Kenaikan harga batu bara tentu memberikan dorongan positif bagi ekspor komoditas andalan Indonesia. Peningkatan harga berarti peningkatan nilai ekspor, yang secara tidak langsung berpotensi memperkuat cadangan devisa nasional. Namun demikian, tantangan lain datang dari sisi nilai tukar.
Pada 6 Mei 2025, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) justru mengalami pelemahan. Rupiah tercatat melemah sebesar 28,5 poin, diperdagangkan pada level Rp16.483 per dolar AS. Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun harga ekspor batu bara menguat, tekanan eksternal terhadap mata uang rupiah masih cukup besar.
Kondisi rupiah yang melemah ini dipengaruhi oleh ketidakpastian global, terutama terkait perkembangan kesepakatan dagang antara Amerika Serikat dan sejumlah mitra utamanya. Pelaku pasar global masih menanti arah kebijakan dagang dari Negeri Paman Sam, yang secara langsung mempengaruhi arus modal masuk ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Sementara itu, pada pembukaan perdagangan , nilai tukar rupiah kembali menunjukkan pelemahan tipis sebesar 12 poin, dibuka di level Rp16.461 per dolar AS.
Peluang dan Tantangan ke Depan
Kondisi pasar saat ini memberikan peluang strategis bagi pelaku industri batu bara dalam negeri untuk meningkatkan ekspor, khususnya ke negara-negara dengan kebutuhan energi berbasis batu bara yang masih tinggi. Namun demikian, tantangan dari sisi transisi energi dan fluktuasi nilai tukar harus tetap diantisipasi.
Sektor batu bara nasional dinilai masih memiliki daya saing tinggi, terutama dalam hal harga dan volume produksi. Namun demikian, transformasi menuju energi bersih yang sedang digencarkan oleh banyak negara harus dijadikan perhatian utama agar Indonesia tidak tertinggal dalam upaya dekarbonisasi global.
Ekonom energi dari Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, dalam wawancaranya sebelumnya menyebut bahwa lonjakan harga batu bara bisa memberikan keuntungan jangka pendek bagi Indonesia, namun tidak bisa dijadikan basis pembangunan energi jangka panjang.
“Indonesia harus mulai menyiapkan strategi transisi energi yang lebih agresif, karena pasar global akan terus bergerak ke arah dekarbonisasi. Permintaan batu bara dari negara seperti Vietnam bisa jadi bersifat sementara,” kata Fabby Tumiwa.
Pernyataan tersebut mencerminkan pentingnya pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia, sekaligus menjawab tantangan geopolitik dan ekonomi global. Pemerintah Indonesia sendiri sudah menyusun roadmap transisi energi hingga 2060, dengan target mencapai net zero emission.
Kenaikan harga batu bara internasional hingga tembus USD 104 per ton pada awal Mei 2025 menjadi angin segar bagi sektor pertambangan Indonesia. Permintaan tinggi dari Vietnam yang didominasi pasokan dari Indonesia menjadi salah satu pendorong utama kenaikan harga. Meski begitu, tantangan dari pelemahan rupiah serta tren global menuju energi bersih menjadi catatan penting yang harus diantisipasi oleh pelaku industri dan pembuat kebijakan.
Peluang ekspor tetap terbuka lebar, namun strategi jangka panjang harus mencakup penguatan struktur industri energi, peningkatan nilai tambah komoditas, serta pengembangan energi alternatif yang lebih ramah lingkungan.