JAKARTA - Pergerakan harga minyak dunia kembali menjadi sorotan pada perdagangan pekan 15–20 September 2025. Sepanjang periode tersebut, pasar energi internasional dipenuhi dengan ketidakpastian, mulai dari ketegangan geopolitik hingga isu permintaan dan pasokan.
Meskipun sempat mengalami tekanan di beberapa sesi, harga minyak akhirnya menutup pekan dengan catatan penguatan tipis. Kondisi ini memperlihatkan bagaimana sentimen global masih menjadi penggerak utama arah harga komoditas energi tersebut.
Geopolitik Jadi Pemicu Kenaikan Awal Pekan
Awal pekan dibuka dengan peristiwa yang kembali menegangkan pasar minyak. Pada Senin, 15 September 2025, kabar mengenai serangan drone Ukraina terhadap fasilitas energi Rusia memicu kekhawatiran akan terganggunya pasokan global.
Kondisi tersebut mendorong harga minyak dunia untuk naik. Minyak Brent tercatat menguat 0,4% ke level US$ 67,02 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) turut naik 0,3% ke posisi US$ 62,77 per barel. Lonjakan ini menunjukkan betapa sensitifnya harga minyak terhadap isu geopolitik, khususnya yang berkaitan dengan Rusia sebagai salah satu produsen utama energi.
Sehari setelahnya, pada Selasa, 16 September 2025, kenaikan harga masih berlanjut meski terbatas. Pasar menyoroti kebijakan OPEC+ yang berpotensi menghasilkan kelebihan pasokan di masa depan. Pada sesi ini, Brent ditutup di US$ 67,44 per barel dan WTI menguat ke US$ 63,30 per barel.
Tekanan Muncul di Pertengahan Pekan
Namun, tren penguatan tersebut tidak bertahan lama. Rabu, 17 September 2025, investor memilih berhati-hati menjelang keputusan suku bunga oleh Federal Reserve. Kehati-hatian itu mendorong harga minyak terkoreksi tipis, dengan Brent melemah ke US$ 67,10 per barel dan WTI turun ke US$ 63,00 per barel.
Kondisi pasar semakin menarik ketika pada Kamis, 18 September 2025, The Fed resmi memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin. Kebijakan ini sempat memunculkan harapan meningkatnya permintaan energi karena biaya pinjaman lebih rendah. Namun, data konsumsi energi yang lemah membatasi potensi kenaikan harga.
Alhasil, alih-alih menguat, harga minyak justru terkoreksi tipis. Brent turun 0,2% ke level US$ 67,65 per barel, sementara WTI melemah 0,3% ke posisi US$ 62,95 per barel.
Akhir Pekan Tertekan oleh Data Permintaan
Tekanan semakin terasa di akhir pekan. Pada Jumat, 19 September 2025, laporan terkait melemahnya permintaan di sejumlah pasar utama muncul ke permukaan. Selain itu, stok bahan bakar di Amerika Serikat yang masih cukup tinggi ikut menekan harga minyak dunia.
Pada penutupan perdagangan hari itu, harga minyak kembali melemah. Brent ditutup di level US$ 67,30 per barel, sedangkan WTI turun ke posisi US$ 63,29 per barel. Sentimen negatif ini menandai berakhirnya pekan dengan tekanan di penghujung perdagangan.
Secara Mingguan Tetap Catatkan Kenaikan
Walau sempat diguncang oleh berbagai faktor, pergerakan harga minyak secara mingguan tetap menunjukkan penguatan. Brent mencatat kenaikan tipis sekitar 0,1%, sedangkan WTI mampu menguat sekitar 1% dibandingkan dengan pekan sebelumnya.
Capaian tersebut memperlihatkan betapa kompleksnya dinamika pasar energi. Harga minyak tidak hanya ditentukan oleh faktor permintaan dan pasokan semata, tetapi juga sangat bergantung pada situasi geopolitik serta kebijakan moneter global.
Pasar Energi Masih Penuh Ketidakpastian
Perdagangan minyak sepanjang 15–20 September 2025 menjadi cerminan bagaimana pasar energi dunia masih dipenuhi ketidakpastian. Di satu sisi, ketegangan geopolitik bisa sewaktu-waktu mendorong harga naik tajam. Namun di sisi lain, faktor fundamental seperti permintaan lemah dan stok yang berlebih mampu menahan bahkan menekan harga.
Pergerakan tipis yang tercatat pekan lalu seolah menjadi jalan tengah dari tarik-menarik berbagai faktor tersebut. Dengan kata lain, harga minyak masih sangat rentan terhadap perubahan sentimen yang terjadi di pasar global.
Kondisi ini sekaligus memberikan sinyal bahwa investor maupun pelaku industri energi harus tetap waspada menghadapi gejolak harga. Selama isu geopolitik belum mereda dan data permintaan energi global masih lemah, fluktuasi harga minyak kemungkinan besar akan terus berlangsung.