JAKARTA - Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif royalti mineral dan batu bara (minerba), khususnya untuk komoditas nikel, tengah menjadi sorotan tajam dari pelaku industri. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana membuka ruang diskusi bersama para pengusaha nikel dalam waktu dekat guna merespons berbagai keberatan yang disampaikan kalangan industri atas kebijakan tersebut.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM, Tri Winarno, menyatakan bahwa pihaknya akan mengadakan pertemuan dengan perwakilan pengusaha pada Kamis, 17 April 2025. Diskusi tersebut diharapkan dapat menghasilkan solusi bersama yang adil, tanpa mengorbankan penerimaan negara maupun daya saing industri nikel nasional.
"Yang jelas kami ada diskusi besok hari Kamis, kira-kira begitu lah," ujar Tri saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM.
Ia menambahkan, fokus utama dalam pertemuan itu adalah mencari titik temu agar margin keuntungan pengusaha tidak terlalu tergerus, walaupun tarif royalti akan dinaikkan. “Minggu ini mau diskusi gimana cara ini [tetap adil], gitu-gitulah. Apakah ongkosnya kita [sesuaikan], gimana caranya supaya margin mereka [pengusaha] tetap bagus, tapi royalti naik,” jelas Tri.
Kenaikan Royalti untuk Komoditas Strategis
Rencana penyesuaian tarif royalti ini tidak hanya menyasar komoditas nikel, melainkan juga batu bara, tembaga, emas, perak, dan timah. Kenaikan tarif diperkirakan berada di kisaran 1 hingga 3 persen dan bersifat fluktuatif, menyesuaikan harga komoditas di pasar global. Pemerintah menilai kebijakan ini penting untuk meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor pertambangan.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sebelumnya menyatakan bahwa kebijakan baru tersebut akan mulai diberlakukan secara efektif pada pekan kedua April 2025. Ia juga memastikan bahwa revisi terhadap dua peraturan pemerintah (PP) sebagai dasar hukum penyesuaian tarif telah rampung.
“Bulan ini sudah berlaku efektif. Minggunya, mungkin minggu kedua sudah berlaku efektif dan sudah tersosialisasikan,” ujar Bahlil di Jakarta.
Adapun aturan yang direvisi meliputi PP Nomor 26 Tahun 2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP di Kementerian ESDM, serta PP Nomor 15 Tahun 2022 tentang Perlakuan Perpajakan dan/atau PNBP di Bidang Usaha Pertambangan Batu Bara.
Pengusaha Minta Pertimbangan Ulang
Meski dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan negara, rencana kenaikan tarif royalti ini menuai respons negatif dari pelaku usaha nikel. Indonesian Mining Association (IMA) menyampaikan keprihatinan atas kebijakan tersebut, terutama karena situasi ekonomi global yang sedang tidak kondusif.
Direktur Eksekutif IMA Hendra Sinadia mengatakan bahwa di tengah meningkatnya tensi perang dagang global, kebijakan menaikkan royalti justru bisa kontraproduktif bagi industri pertambangan nasional. Ia berharap pemerintah bersedia melakukan renegosiasi sebelum menetapkan tarif baru.
“Sebagai mitra pemerintah, tentu anggota IMA akan mematuhi. Namun, kami mengharapkan bisa dibahas lagi mengingat situasi perang dagang,” kata Hendra kepada media pekan lalu.
Menurutnya, industri minerba tidak terdampak langsung oleh kebijakan tarif dari Presiden Amerika Serikat. Justru hal ini bisa menjadi momentum bagi Indonesia untuk memperkuat daya saing sektor pertambangan sebagai penopang ekonomi nasional.
"Dalam kondisi perang tarif justru industri minerba kita tidak terdampak langsung sehingga berpotensi menopang perekonomian kita. Pelaku usaha perlu didukung, termasuk tidak dibebani kenaikan royalti,” jelas Hendra.
Harga Nikel Anjlok, Beban Industri Bertambah
Sikap serupa juga diutarakan Ketua Umum Forum Industri Nikel Indonesia (FINI), Alexander Barus. Ia menilai, pemerintah sebaiknya lebih berhati-hati dalam menetapkan kebijakan fiskal di tengah tekanan global terhadap industri nikel.
Menurut Alexander, harga nikel global saat ini mengalami penurunan signifikan akibat ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat dan China. Dalam sebulan terakhir saja, harga nikel turun sekitar 16 persen, dan dalam enam bulan terakhir terkontraksi hingga 23 persen, mencapai level US$13.800 per ton terendah sejak 2020.
“Penyesuaian kebijakan fiskal, seperti kenaikan royalti, harus mempertimbangkan kondisi pasar saat ini yang sedang mengalami penurunan harga agar tidak membebani pelaku industri di tengah upaya menjaga keberlangsungan hilirisasi nikel nasional,” ujar Alexander.
Alexander juga menyoroti beban tambahan yang kini menimpa industri nikel dari dalam negeri, seperti kenaikan upah minimum regional (UMR), penerapan mandatori B40, kebijakan retensi devisa hasil ekspor (DHE), serta penerapan global minimum tax yang akan berlaku mulai 2025.
“Kami dihadapkan pada tekanan biaya yang meningkat, sementara harga jual nikel anjlok. Dalam kondisi seperti ini, wajar jika kami meminta pemerintah menunda kenaikan tarif royalti,” imbuhnya.
Harapan akan Dialog Konstruktif
Pemerintah tampaknya menyadari bahwa keberhasilan kebijakan ini sangat tergantung pada kemauan untuk mendengarkan masukan pelaku usaha. Oleh sebab itu, diskusi yang akan digelar pekan ini diharapkan menjadi momentum penting untuk mencari titik temu antara kepentingan fiskal negara dan keberlanjutan industri strategis nasional.
Tri Winarno menegaskan bahwa Kementerian ESDM akan terus bersikap terbuka terhadap semua masukan dari pengusaha. “Kami terbuka. Ini diskusi dua arah. Intinya kita ingin cari win-win solution,” ujarnya.
Apabila pertemuan ini membuahkan kesepahaman, maka diharapkan implementasi kebijakan penyesuaian royalti bisa dilakukan secara bertahap dan terukur, tanpa mengganggu daya saing industri nikel nasional di pasar global.
Dalam konteks yang lebih luas, diskusi ini juga menjadi bagian dari strategi pemerintah dalam menjaga kesinambungan hilirisasi minerba, serta memperkuat kontribusi sektor tambang terhadap perekonomian nasional di tengah gejolak ekonomi global yang tidak menentu.