JAKARTA - Harga minyak mentah dunia kembali mencatatkan penurunan signifikan pada pembukaan perdagangan Senin, seiring meningkatnya kekhawatiran para investor terhadap dampak lanjutan perang dagang serta perkembangan terbaru dari pembicaraan nuklir antara Amerika Serikat (AS) dan Iran. Kondisi ini memicu ketidakpastian dalam pasar energi global dan menimbulkan potensi pelemahan permintaan bahan bakar secara global.
Mengacu pada laporan dari Reuters, harga minyak mentah jenis Brent mengalami penurunan sebesar US$1,10 atau 1,6 persen, hingga menyentuh angka US$66,86 per barel. Sebelumnya, Brent sempat mengalami kenaikan hingga 3,2 persen pada penutupan perdagangan Kamis lalu. Di sisi lain, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) asal Amerika Serikat juga terkoreksi sebesar US$1,11 atau setara 1,7 persen menjadi US$63,57 per barel, setelah pada sesi sebelumnya menguat 3,54 persen.
Penurunan ini mencerminkan kekhawatiran investor bahwa kebijakan tarif perdagangan yang diterapkan oleh Amerika Serikat terhadap sejumlah mitra dagangnya dapat menjadi hambatan signifikan bagi pertumbuhan ekonomi global. Kekhawatiran ini diperparah oleh potensi penurunan permintaan bahan bakar yang diakibatkan oleh perlambatan aktivitas ekonomi di negara-negara utama dunia. Dalam situasi seperti ini, pasar energi menghadapi tekanan ganda: di satu sisi dari sisi permintaan yang melemah, dan di sisi lain dari potensi peningkatan pasokan minyak global.
Strategi pasar dari IG, Yeap Jun Rong, mengatakan bahwa pasar saat ini sedang berada dalam tren penurunan yang lebih luas dan para pelaku pasar mungkin akan kesulitan untuk mendapatkan kepercayaan terhadap prospek keseimbangan pasokan dan permintaan. “Tren yang lebih luas tetap condong ke arah penurunan, karena investor mungkin kesulitan untuk menemukan keyakinan dalam prospek pasokan-permintaan yang membaik, terutama di tengah hambatan dari tarif terhadap pertumbuhan global dan meningkatnya pasokan dari OPEC+,” ujar Yeap.
Ia juga menambahkan bahwa pekan ini, para pelaku pasar akan mengamati dengan seksama sejumlah data ekonomi penting dari Amerika Serikat, khususnya yang berkaitan dengan aktivitas manufaktur. Salah satunya adalah laporan indeks pembelian manajer (PMI) manufaktur untuk periode April. "Serangkaian rilis PMI minggu ini bisa semakin menyoroti dampak ekonomi dari tarif, dengan kondisi manufaktur dan jasa di ekonomi utama yang diperkirakan akan melunak," kata Yeap, menekankan potensi pelemahan di sektor-sektor kunci yang selama ini menopang permintaan energi.
Selain faktor perang dagang, tekanan terhadap harga minyak juga datang dari perkembangan terbaru dalam negosiasi nuklir antara Amerika Serikat dan Iran. Dalam pertemuan yang digelar pada Sabtu lalu, kedua negara dikabarkan telah mulai menyusun kerangka kerja menuju kesepakatan yang memungkinkan pelonggaran sanksi terhadap Iran. Jika tercapai, kesepakatan ini berpotensi membuka kembali akses Iran ke pasar ekspor minyak global, sehingga memperbesar volume pasokan yang beredar di pasar dunia.
Adanya tanda-tanda kemajuan dalam negosiasi tersebut mengurangi kekhawatiran pasar akan terganggunya pasokan dari wilayah Timur Tengah. Kemajuan diplomatik ini juga terjadi setelah pemerintah Amerika Serikat menjatuhkan sanksi baru terhadap kilang minyak independen asal China yang diduga mengolah minyak mentah dari Iran. Dengan demikian, perkembangan ini menambah dimensi geopolitik yang kompleks terhadap dinamika harga minyak dunia.
Di sisi lain, faktor tambahan yang memengaruhi sentimen pasar adalah rencana Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya atau yang dikenal dengan OPEC+ untuk terus meningkatkan produksi mereka. Mulai Mei mendatang, OPEC+ dijadwalkan menaikkan produksi minyak sebesar 411 ribu barel per hari. Namun, sebagian dari kenaikan tersebut kemungkinan akan terkompensasi oleh pemangkasan dari negara-negara anggota yang sebelumnya telah melebihi kuota produksi mereka.
Kebijakan OPEC+ ini menjadi salah satu indikator penting yang terus dipantau pelaku pasar, mengingat peran sentral kelompok ini dalam menjaga stabilitas pasokan minyak global. Bila peningkatan produksi berlangsung tanpa diimbangi permintaan yang cukup, maka kelebihan pasokan berisiko memperburuk tekanan terhadap harga.
Kondisi pasar energi saat ini mencerminkan kerentanan terhadap sejumlah dinamika global, mulai dari kebijakan ekonomi negara-negara besar, perkembangan geopolitik, hingga koordinasi antarprodusen minyak utama dunia. Ketidakpastian yang tinggi ini membuat harga minyak semakin rentan terhadap fluktuasi dalam jangka pendek.
Dengan latar belakang tersebut, para analis memperkirakan volatilitas di pasar minyak masih akan berlangsung dalam beberapa pekan ke depan. Perhatian pasar akan terus tertuju pada pembicaraan nuklir AS-Iran, data ekonomi AS, serta realisasi kebijakan produksi dari OPEC+. Jika tidak ada perkembangan signifikan yang mengarah pada stabilisasi permintaan dan pasokan, maka harga minyak mentah global berisiko melanjutkan tren penurunannya.
Sementara itu, pelaku industri energi dan pemerintah di berbagai negara diminta untuk bersiap menghadapi kemungkinan fluktuasi lebih lanjut. Penurunan harga minyak, meskipun menguntungkan bagi negara-negara pengimpor, dapat menjadi tantangan serius bagi produsen minyak yang sangat bergantung pada pendapatan ekspor migas. Dengan demikian, dinamika geopolitik dan ekonomi global saat ini menjadi faktor penentu utama dalam proyeksi pasar energi ke depan.