JAKARTA - Menjelang peringatan Hari Toleransi Internasional yang jatuh pada 16 November 2025, Kementerian Agama (Kemenag) menegaskan pentingnya memperkuat dakwah yang berorientasi pada harmoni dan kedamaian. Langkah ini dinilai efektif untuk menangkal sikap intoleransi dan potensi radikalisme yang masih muncul di tengah masyarakat.
Staf Khusus Menteri Agama Bidang Kebijakan Publik, Media, dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Ismail Cawidu, menyampaikan pesan tersebut dalam kegiatan di Lombok, Nusa Tenggara Barat, pada Minggu. Ia menekankan bahwa Hari Toleransi menjadi momentum penting bagi seluruh pihak untuk memperkuat semangat persatuan melalui dakwah yang menyejukkan dan mendamaikan.
Kemenag, menurutnya, telah menggerakkan berbagai program di seluruh wilayah Indonesia, dari tingkat kecamatan hingga pusat. Fokus utama program tersebut adalah mendorong para tokoh agama dari berbagai latar keyakinan untuk aktif menyampaikan pesan-pesan damai dalam dakwah mereka.
“Kementerian Agama pada seluruh lini, mulai dari kecamatan sampai ke pusat itu sudah melancarkan berbagai macam program, khususnya yang mendorong para tokoh agama, dari agama apa pun, untuk mengedepankan dakwah-dakwah yang menyejukkan,” ujar Ismail.
Pentingnya Sinergi Tokoh Agama Bangun Harmoni
Dalam pandangan Ismail, kerja sama antar tokoh agama menjadi elemen penting untuk mewujudkan masyarakat yang rukun dan harmonis. Ia menilai bahwa kebersamaan lintas iman bukan hanya simbol, melainkan langkah konkret dalam mencegah potensi konflik sosial yang bersumber dari perbedaan pandangan keagamaan.
Ia menjelaskan, banyak persoalan kecil di masyarakat yang dapat memicu gesekan jika tidak disikapi dengan bijak. Oleh karena itu, pendekatan yang mengedepankan dialog, empati, dan kerja sama dianggap lebih efektif daripada konfrontasi.
“Kebersamaan dan harmoni itu lebih diutamakan ketika membahas masalah kecil-kecil yang bisa memicu intoleransi. Saya kira ini bukan kerjaan seseorang, melainkan satu kelompok untuk bekerja sama mewujudkan kehidupan yang harmonis di Indonesia,” katanya.
Pesan tersebut menjadi refleksi atas pentingnya kolaborasi lintas agama dalam memperkuat kohesi sosial. Ismail mengingatkan bahwa tanggung jawab menjaga perdamaian bukan hanya milik pemuka agama tertentu, melainkan tugas bersama seluruh elemen bangsa.
Indeks Kerukunan Umat Beragama Alami Peningkatan
Kemenag juga mencatat perkembangan positif dalam indeks kerukunan beragama nasional. Berdasarkan data tahun 2024, angka kerukunan umat beragama berada di level 76,47, naik sebesar 0,45 poin dibandingkan tahun 2023.
Kenaikan ini dianggap sebagai hasil dari kerja keras berbagai pihak dalam memperkuat moderasi beragama. Program-program dialog lintas iman, pelatihan dai moderat, serta kampanye toleransi di media sosial turut berperan dalam peningkatan angka tersebut.
Meski demikian, Ismail mengingatkan bahwa tren positif itu tidak boleh membuat masyarakat lengah. Tantangan dalam menjaga harmoni tetap ada, terutama dengan masih munculnya sejumlah kasus intoleransi di beberapa wilayah Indonesia.
Ia juga menyoroti sikap sebagian kelompok masyarakat yang belum sepenuhnya menunjukkan perilaku moderat dalam kehidupan beragama. Menurutnya, hal ini menjadi pekerjaan rumah besar yang harus terus diatasi dengan pendekatan edukatif dan persuasif.
Kemenag menargetkan peningkatan indeks kerukunan hingga mencapai angka 80 poin pada tahun 2026. Upaya tersebut akan ditempuh dengan memperkuat kolaborasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi keagamaan di seluruh daerah.
Penguatan Moderasi Beragama Jadi Arah Kebijakan Nasional
Sejalan dengan upaya tersebut, Presiden Prabowo Subianto telah menetapkan Peraturan Presiden tentang Penguatan Moderasi Beragama. Kebijakan ini menjadi dasar hukum yang mengamanatkan pembentukan Sekretariat Bersama (Sekber) untuk memperkuat koordinasi lintas kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah.
Pembentukan Sekber diharapkan dapat mempermudah sinergi antarinstansi dalam menyusun program dan strategi penguatan moderasi beragama. Dengan koordinasi yang lebih sistematis, langkah pencegahan terhadap intoleransi dan ekstremisme bisa dilakukan secara menyeluruh.
Moderasi beragama, menurut Ismail, bukan berarti melemahkan ajaran agama, melainkan mengajarkan keseimbangan dalam memahami dan mengamalkan nilai-nilai spiritual. Ia menegaskan bahwa semangat moderat justru membuat seseorang lebih mampu menghargai perbedaan dan menjaga kedamaian sosial.
Kemenag juga berkomitmen memperluas pelatihan dan pembinaan bagi para tokoh agama, guru madrasah, dan penyuluh lintas iman agar mampu menjadi agen perdamaian di lingkungan masing-masing. Selain itu, pendekatan berbasis teknologi digital juga akan diperkuat untuk menyebarkan konten dakwah yang positif dan menyejukkan.
Meneguhkan Semangat Persatuan di Tengah Perbedaan
Peringatan Hari Toleransi Internasional tahun ini menjadi pengingat bahwa keberagaman merupakan kekuatan utama bangsa Indonesia. Dalam konteks kehidupan sosial dan beragama, perbedaan bukan halangan, melainkan jembatan untuk saling mengenal dan memahami.
Kemenag menilai, semangat persatuan harus ditumbuhkan melalui pendidikan sejak dini dan keteladanan dari para pemimpin agama. Dakwah yang penuh kasih dan jauh dari ujaran kebencian diyakini mampu memperkuat semangat kebangsaan dan mengikis benih radikalisme.
Ismail menegaskan kembali bahwa dakwah yang menyejukkan memiliki peran besar dalam membangun harmoni sosial. Ia berharap para pemuka agama terus menjadi pelopor perdamaian dan menjadi contoh bagi umat dalam menjaga nilai-nilai kemanusiaan.
Dengan komitmen pemerintah, dukungan tokoh agama, dan partisipasi masyarakat, cita-cita Indonesia yang damai dan penuh toleransi bukan hal yang mustahil untuk diwujudkan. Semangat ini menjadi cermin dari filosofi bangsa yang menjunjung tinggi keberagaman dalam bingkai persatuan.