Nikel

Pengusaha Tambang Sebut Royalti Nikel di Indonesia Tertinggi di Dunia, Desak Pemerintah Tinjau Kenaikan Tarif

Pengusaha Tambang Sebut Royalti Nikel di Indonesia Tertinggi di Dunia, Desak Pemerintah Tinjau Kenaikan Tarif
Pengusaha Tambang Sebut Royalti Nikel di Indonesia Tertinggi di Dunia, Desak Pemerintah Tinjau Kenaikan Tarif

JAKARTA - Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengungkapkan bahwa tarif royalti nikel di Indonesia merupakan yang tertinggi dibandingkan negara-negara penghasil nikel lainnya. Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey menyoroti kebijakan pemerintah yang berencana menaikkan tarif royalti dari single tariff 10% menjadi progresif 14%—19% untuk bijih nikel. Para pelaku industri menilai kebijakan ini akan semakin membebani sektor pertambangan di tengah tren penurunan harga nikel global.

"Saya coba bandingkan dengan negara lain. Ternyata dari seluruh negara penghasil nikel, kita yang tertinggi, yaitu 10%. Itu belum ditambah kenaikan 14%—19% yang akan diterapkan," ujar Meidy.

Meidy menjelaskan bahwa perbandingan tersebut berdasarkan tarif royalti yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 Tahun 2019, yang mengatur tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Menurutnya, kenaikan tarif royalti ke kisaran 14%—19% dianggap tidak realistis karena akan meningkatkan beban industri pertambangan yang sudah menghadapi berbagai tantangan, seperti naiknya ongkos produksi akibat kebijakan pemerintah, sementara harga nikel global terus menurun.

“Negara penghasil nikel lain bahkan ada yang membayar royalti berbasis profit, seperti sistem pajak. Di beberapa negara seperti Amerika, Afrika, Eropa, dan negara-negara tetangga, tarif royalti mereka lebih rendah dibandingkan Indonesia," jelasnya.

Para penambang menilai bahwa kenaikan royalti ini akan menggerus margin keuntungan yang semakin tipis. Mereka juga khawatir kebijakan ini akan menurunkan daya saing industri nikel Indonesia di pasar global, terutama di tengah upaya negara-negara lain menarik investasi pertambangan dengan kebijakan fiskal yang lebih kompetitif.

Saat ini, Indonesia merupakan salah satu produsen nikel terbesar di dunia, dengan kontribusi signifikan terhadap pasokan global. Namun, kebijakan fiskal yang dinilai memberatkan bisa berakibat pada berkurangnya investasi di sektor pertambangan. Banyak perusahaan tambang yang bergantung pada harga nikel internasional, yang belakangan ini mengalami volatilitas cukup tinggi.

Berdasarkan data London Metal Exchange (LME), harga nikel global saat ini berada dalam tren penurunan setelah sempat menyentuh harga tertinggi dalam beberapa tahun terakhir. Penurunan harga ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk melemahnya permintaan dari industri baterai kendaraan listrik, serta meningkatnya produksi nikel dari negara-negara lain seperti Filipina dan Rusia.

Dengan kondisi tersebut, para penambang menganggap bahwa kenaikan tarif royalti justru akan semakin memperberat beban mereka dan berpotensi membuat industri nikel nasional kurang kompetitif. Apalagi, industri pertambangan di Indonesia juga masih harus menghadapi berbagai kewajiban lain, seperti pembayaran pajak, retribusi daerah, serta biaya lingkungan dan reklamasi pasca-tambang.

APNI mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan ulang kebijakan ini dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap keberlanjutan industri tambang di Indonesia. Menurut Meidy, jika tarif royalti dinaikkan terlalu tinggi, bukan tidak mungkin beberapa perusahaan tambang akan kesulitan untuk bertahan, terutama bagi perusahaan kecil dan menengah yang modalnya terbatas.

"Kami berharap pemerintah mau duduk bersama dengan para pelaku usaha untuk mencari solusi terbaik. Jika royalti terlalu tinggi, maka industri akan semakin tertekan dan bisa berdampak pada hilangnya lapangan pekerjaan serta menurunnya pendapatan negara dalam jangka panjang," tegasnya.

Selain itu, APNI juga menyoroti bahwa beberapa negara pesaing justru menawarkan insentif kepada industri nikel mereka guna meningkatkan daya saing di pasar global. Misalnya, beberapa negara menerapkan tarif royalti berbasis keuntungan atau profit-based taxation, di mana besaran royalti disesuaikan dengan kondisi keuangan perusahaan.

Di sisi lain, pemerintah beralasan bahwa kebijakan kenaikan royalti ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara serta memberikan kontribusi yang lebih besar bagi pembangunan nasional. Namun, pelaku industri menilai bahwa kebijakan ini seharusnya mempertimbangkan kondisi pasar global serta daya saing Indonesia dalam industri pertambangan.

Saat ini, pembahasan terkait revisi tarif royalti masih berlangsung dan belum ada keputusan final dari pemerintah. Para pengusaha tambang berharap ada solusi yang lebih seimbang antara kepentingan negara dalam meningkatkan pendapatan dan keberlanjutan industri pertambangan nikel.

Dengan peran strategis nikel dalam industri baterai kendaraan listrik dan transisi energi global, kebijakan pemerintah dalam sektor ini akan sangat menentukan masa depan industri nikel Indonesia. Para pemangku kepentingan berharap adanya keseimbangan antara penerimaan negara dan daya saing industri, sehingga pertumbuhan sektor pertambangan tetap berkelanjutan dan mampu berkontribusi secara maksimal bagi perekonomian nasional.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index