JAKARTA - Pemerintah Indonesia tengah mempertimbangkan kebijakan kenaikan royalti bagi industri nikel sebagai bagian dari upaya meningkatkan penerimaan negara. Namun, kebijakan ini menuai berbagai tanggapan dari pelaku industri, yang menilai bahwa peningkatan royalti dapat berdampak negatif terhadap upaya hilirisasi sektor pertambangan, khususnya pada industri pengolahan dan pemurnian (smelter).
Kenaikan royalti ini sejalan dengan rencana pemerintah untuk meningkatkan kontribusi sektor pertambangan terhadap pendapatan negara. Namun, para pelaku industri mengkhawatirkan bahwa kebijakan ini dapat mengurangi daya saing investasi dan memperlambat perkembangan industri hilirisasi nikel yang sedang berkembang pesat di Indonesia.
Seorang sumber dari industri pertambangan menyatakan bahwa kebijakan ini bisa berdampak pada efisiensi operasional perusahaan yang bergerak di sektor nikel. “Jika royalti dinaikkan secara signifikan, biaya produksi juga akan meningkat, yang pada akhirnya dapat mengurangi minat investasi di sektor hilirisasi,” ujarnya.
Saat ini, industri nikel di Indonesia tengah mengalami pertumbuhan pesat, didorong oleh tingginya permintaan global untuk bahan baku baterai kendaraan listrik. Pemerintah pun telah mengambil langkah strategis dengan melarang ekspor bijih nikel mentah sejak 2020, guna mendorong investasi dalam pembangunan smelter di dalam negeri. Namun, jika royalti dinaikkan, para pelaku industri khawatir bahwa biaya produksi akan semakin mahal dan menghambat ekspansi investasi.
Seorang analis industri pertambangan menambahkan bahwa kebijakan ini perlu dikaji secara mendalam agar tidak memberikan efek negatif terhadap pertumbuhan industri. “Hilirisasi nikel adalah langkah strategis untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. Jika biaya produksi meningkat akibat kenaikan royalti, ini bisa menjadi kendala bagi industri untuk berkembang secara optimal,” katanya.
Menurut data yang dihimpun dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), saat ini terdapat lebih dari 30 smelter nikel yang beroperasi di Indonesia, dengan beberapa lainnya masih dalam tahap konstruksi. Pemerintah menargetkan peningkatan kapasitas produksi untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri baterai listrik, yang diproyeksikan terus meningkat dalam beberapa tahun ke depan.
Kenaikan royalti diperkirakan dapat berdampak terhadap perusahaan yang baru merintis usaha di sektor hilirisasi, terutama bagi mereka yang belum mencapai skala produksi optimal. Beberapa investor dikabarkan mulai meninjau ulang rencana ekspansi mereka di Indonesia akibat ketidakpastian regulasi yang terus berubah.
Pemerintah sendiri menyatakan bahwa kebijakan kenaikan royalti ini masih dalam tahap pembahasan dan akan mempertimbangkan masukan dari berbagai pemangku kepentingan. “Kami memahami bahwa industri hilirisasi memiliki peran penting dalam perekonomian nasional, sehingga kebijakan yang diambil harus seimbang antara peningkatan penerimaan negara dan keberlanjutan industri,” ujar seorang pejabat dari Kementerian ESDM.
Para pelaku industri berharap agar pemerintah mempertimbangkan dampak jangka panjang sebelum menerapkan kebijakan ini. Mereka menekankan pentingnya menjaga stabilitas regulasi untuk menarik lebih banyak investasi ke sektor hilirisasi nikel. “Kepastian regulasi sangat penting bagi investor. Jika kebijakan terus berubah, maka investor akan berpikir dua kali sebelum menanamkan modalnya di Indonesia,” kata seorang eksekutif perusahaan tambang.
Selain itu, kenaikan royalti juga bisa berdampak pada harga produk nikel olahan di pasar global. Jika biaya produksi meningkat, harga jual produk nikel olahan dari Indonesia bisa menjadi kurang kompetitif dibandingkan dengan negara produsen lainnya, seperti Filipina dan Rusia. Hal ini dapat berdampak pada daya saing ekspor nikel Indonesia di pasar internasional.
Sementara itu, beberapa pihak berpendapat bahwa kenaikan royalti merupakan langkah yang wajar untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pertambangan, yang selama ini menjadi salah satu kontributor utama dalam perekonomian nasional. Namun, mereka juga mengingatkan bahwa kebijakan ini harus diterapkan dengan perhitungan yang matang agar tidak menghambat pertumbuhan industri hilirisasi yang tengah berkembang.
Di sisi lain, pemerintah juga tengah mengkaji berbagai insentif bagi pelaku industri hilirisasi untuk mengimbangi dampak dari kenaikan royalti. Beberapa opsi yang dipertimbangkan antara lain pemberian keringanan pajak atau fasilitas fiskal lainnya untuk mendukung industri pengolahan nikel di dalam negeri.
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menarik investasi besar di sektor hilirisasi nikel, terutama dari perusahaan-perusahaan Tiongkok yang membangun smelter di kawasan industri Morowali dan Weda Bay. Namun, jika kebijakan kenaikan royalti ini tidak dikombinasikan dengan insentif yang memadai, dikhawatirkan akan menghambat pertumbuhan investasi baru di sektor ini.
Kebijakan ini juga berpotensi berdampak pada tenaga kerja di sektor pertambangan dan hilirisasi nikel. Dengan meningkatnya biaya produksi, beberapa perusahaan mungkin akan melakukan efisiensi, termasuk pengurangan tenaga kerja atau penundaan proyek ekspansi yang telah direncanakan.
Seorang ekonom dari salah satu lembaga penelitian menyatakan bahwa pemerintah perlu menyeimbangkan antara peningkatan penerimaan negara dan insentif bagi industri. “Kenaikan royalti memang bisa meningkatkan pendapatan negara dalam jangka pendek, tetapi jika dampaknya memperlambat hilirisasi dan menghambat investasi, maka dalam jangka panjang bisa merugikan perekonomian secara keseluruhan,” ujarnya.
Keputusan akhir mengenai kebijakan kenaikan royalti ini masih dalam proses pembahasan di tingkat kementerian terkait. Pemerintah diharapkan akan mengambil keputusan yang memperhitungkan semua aspek, agar Indonesia tetap menjadi tujuan investasi utama dalam rantai pasok industri nikel global.