JAKARTA - Harga minyak dunia kembali mengalami penurunan setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan penundaan penerapan tarif impor terhadap smartphone dan barang elektronik populer lainnya. Langkah ini diambil di tengah ketegangan dagang yang terus berlanjut antara Washington dan Beijing, serta disusul dengan sinyal positif dari diskusi diplomatik antara Amerika Serikat dan Iran yang selama ini dikenal memiliki hubungan panas. Meski sempat mencatat kenaikan moderat di awal perdagangan, harga minyak kembali tertekan oleh sentimen pasar yang mempertimbangkan pelonggaran kebijakan tarif dan potensi meningkatnya pasokan global.
Harga minyak mentah Brent untuk pengiriman bulan Juni tercatat turun 0,3 persen menjadi 64,56 dolar AS per barel pada pukul 06.35 waktu Singapura. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Mei juga turun 0,3 persen dan diperdagangkan pada angka 61,32 dolar AS per barel. Penurunan ini memperpanjang tren negatif harga minyak dunia yang telah berlangsung sejak minggu lalu, ketika kekhawatiran pasar terhadap dampak kebijakan tarif Amerika Serikat menyebabkan harga minyak anjlok ke level terendah sejak 2021.
Kebijakan tarif yang diumumkan oleh Presiden Trump selama beberapa bulan terakhir telah menjadi salah satu pemicu utama volatilitas harga minyak global. Dalam pernyataan yang dikeluarkan pada Jumat malam waktu setempat, pemerintah AS memutuskan untuk mengecualikan beberapa barang elektronik seperti ponsel pintar, komputer, dan barang elektronik konsumen lainnya dari daftar barang yang dikenakan tarif tambahan. Keputusan ini dianggap sebagai langkah pelunakan pertama dalam eskalasi konflik perdagangan antara dua negara ekonomi terbesar di dunia, meskipun kemudian pada hari Minggu, Presiden Trump menyatakan bahwa tarif tetap akan dikenakan pada sektor tersebut dalam waktu dekat.
“Sebenarnya ini hanya langkah prosedural saja,” ujar Trump. “Pada akhirnya, semua sektor akan tersentuh. Tidak ada yang akan luput.” Komentar ini memperlihatkan bahwa ketidakpastian masih membayangi pasar global, karena pernyataan Trump yang kontradiktif membuat pelaku pasar kesulitan membaca arah kebijakan AS secara pasti.
Selain faktor tarif, pasar minyak juga tertekan oleh keputusan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya (OPEC+) yang memilih untuk mempercepat peningkatan produksi minyak. Keputusan tersebut dinilai terlalu cepat oleh sebagian analis, mengingat permintaan global belum sepenuhnya pulih, apalagi dengan potensi penurunan konsumsi akibat tarif yang diberlakukan oleh AS terhadap barang-barang konsumen yang bernilai tinggi. Keputusan OPEC+ menambah pasokan justru memperkuat sentimen negatif pasar terhadap harga minyak, yang sebelumnya sudah goyah akibat perang dagang.
Sementara itu, perkembangan diplomatik antara Amerika Serikat dan Iran juga turut memengaruhi dinamika harga minyak global. Pada akhir pekan lalu, kedua negara mengadakan pertemuan di Oman, yang merupakan kontak tingkat tinggi pertama sejak 2022. Pertemuan ini memberikan harapan baru terhadap kemungkinan meredanya ketegangan yang telah berlangsung bertahun-tahun akibat program nuklir Iran. Kedua pihak bahkan sepakat untuk bertemu kembali dalam waktu satu minggu guna membahas langkah-langkah konkret menuju normalisasi hubungan.
Meskipun belum ada hasil konkret dari pertemuan tersebut, sinyal positif ini langsung direspons pasar sebagai potensi bertambahnya pasokan minyak dari Iran, yang merupakan salah satu produsen minyak terbesar di Timur Tengah. China, sebagai konsumen minyak terbesar di dunia, disebut-sebut sangat berkepentingan terhadap stabilitas pasokan dari kawasan Teluk, termasuk dari Iran. Jika ketegangan antara AS dan Iran mencair, kemungkinan besar pasokan minyak dari Iran ke pasar global bisa kembali meningkat setelah sebelumnya terhambat oleh sanksi ekonomi dari Washington.
Secara keseluruhan, kombinasi dari faktor-faktor geopolitik, kebijakan tarif yang ambigu, dan keputusan produksi dari OPEC+ telah membuat harga minyak dunia berada dalam tekanan besar. Para pelaku pasar dan analis memperkirakan bahwa volatilitas akan terus berlangsung dalam beberapa pekan ke depan, tergantung dari arah perkembangan negosiasi AS-Iran dan kepastian sikap Trump terhadap penerapan tarif.
“Pasar minyak saat ini tidak hanya dipengaruhi oleh fundamental penawaran dan permintaan, tapi juga oleh sentimen geopolitik dan ketidakpastian kebijakan,” kata seorang analis komoditas dari Singapura, yang dikutip Bloomberg. “Langkah Trump yang tidak konsisten dalam isu tarif dan munculnya peluang diplomasi dengan Iran memberikan sinyal campur aduk bagi pelaku pasar.”
Ketidakpastian tersebut membuat banyak trader memilih bersikap hati-hati dan menunggu kejelasan arah kebijakan sebelum melakukan aksi beli atau jual dalam volume besar. Apalagi, dengan adanya prospek peningkatan pasokan minyak dari Iran dan negara-negara OPEC lainnya, risiko over-supply kembali menjadi kekhawatiran utama yang bisa menekan harga lebih jauh.
Dalam jangka pendek, para analis memperkirakan harga minyak Brent akan bergerak di kisaran 63 hingga 66 dolar AS per barel, sementara WTI akan bertahan di antara 60 hingga 63 dolar AS, tergantung dari arah kebijakan tarif AS dan hasil pertemuan lanjutan antara Washington dan Teheran. Jika perundingan membuahkan hasil positif, pasar mungkin akan mengalami lonjakan pasokan yang menekan harga. Sebaliknya, jika negosiasi gagal dan sanksi terhadap Iran diperketat, maka harga minyak bisa kembali naik akibat kekhawatiran gangguan pasokan.
Kondisi global yang dinamis ini menunjukkan bahwa harga minyak tidak lagi hanya ditentukan oleh produksi dan konsumsi semata, namun juga oleh kebijakan politik dan diplomasi antarnegara. Bagi negara-negara pengimpor seperti Indonesia, pergerakan harga minyak ini akan sangat menentukan arah kebijakan energi dan fiskal dalam beberapa bulan ke depan.