JAKARTA - Rencana pembangunan pelabuhan khusus untuk aktivitas bongkar muat ore nikel di wilayah pesisir Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, memicu gelombang penolakan dari masyarakat setempat. Proyek yang digagas pemerintah daerah ini dinilai mengancam ekosistem laut, kehidupan sosial-ekonomi warga, serta potensi pariwisata di kawasan yang selama ini dikenal sebagai salah satu pusat konservasi terumbu karang dan habitat biota laut.
Penolakan masyarakat tersebut disuarakan secara resmi melalui surat bernomor 007/KIMA/IV/25 yang ditandatangani oleh Pendiri sekaligus Ketua Tim Konservasi Kima Tolitoli-Labengki, Habib Nadjar Buduha. Dalam pernyataannya, Habib menyampaikan kekhawatiran besar terhadap dampak lingkungan yang akan ditimbulkan oleh pembangunan pelabuhan ore nikel tersebut, terutama terhadap kawasan pesisir yang telah lama dijaga oleh masyarakat secara turun-temurun.
“Kerusakan tidak hanya terjadi pada saat proses bongkar-muat. Namun kapal-kapal yang berlalu-lalang pasti akan menghancurkan kawasan terumbu karang yang menjadi sumber perkembangbiakan aneka jenis ikan,” tegas Habib Nadjar Buduha. Menurutnya, lalu lintas kapal besar dan aktivitas tambang akan membawa dampak jangka panjang bagi ekosistem laut yang menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat lokal, terutama para nelayan.
Soropia dan kecamatan tetangganya, Lalonggasumeeto, merupakan kawasan pesisir yang tidak hanya kaya akan hasil laut tetapi juga memiliki ekosistem yang masih alami, seperti terumbu karang dan hutan mangrove. Terumbu karang di wilayah ini telah lama menjadi habitat ribuan spesies ikan, termasuk ikan tenggiri, yang menjadi komoditas unggulan warga melalui metode tangkap tradisional seperti Sero.
Dalam surat protes yang dikirimkan kepada pemerintah daerah, Tim Konservasi Kima Tolitoli menyoroti berbagai potensi kerusakan lingkungan. Dampak paling nyata diprediksi berasal dari aktivitas bongkar muat ore nikel, kebocoran limbah seperti minyak dan sampah dari kapal, serta polusi suara dan air yang bisa mengganggu keseimbangan habitat laut. Suara mesin kapal dan zat pencemar laut akan menyebabkan stres pada biota laut, mengganggu pola hidup dan reproduksi ikan, serta bisa berakibat menurunnya populasi spesies tertentu.
“Pembangunan pelabuhan di kawasan Perairan Soropia sangat berisiko menghancurkan ekosistem laut yang telah dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat sejak lama,” lanjut Habib yang juga menjabat sebagai Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) MEMBIRI.
Wilayah konservasi yang dimaksud mencakup lima desa di dua kecamatan, yaitu Desa Nii Tanasa, Tolitoli, dan Wawobungi di Kecamatan Lalonggasumeeto serta Desa Waworaha dan Soropia di Kecamatan Soropia. Kawasan ini juga telah diakui dan ditetapkan melalui Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2018 sebagai kawasan yang harus dilindungi dari aktivitas industri ekstraktif.
Kekhawatiran masyarakat Soropia bukan tanpa alasan. Mayoritas warga di kawasan ini menggantungkan hidupnya dari sektor kelautan, terutama dari penangkapan dan budidaya ikan. Kehilangan terumbu karang dan terganggunya ekosistem laut berarti kehilangan sumber penghidupan utama. Menurut Habib, masyarakat setempat selama ini hidup berdampingan secara harmonis dengan alam melalui upaya konservasi mandiri seperti yang dilakukan di Taman Laut Kima Tolitoli.
Namun dengan hadirnya rencana pembangunan pelabuhan, masyarakat merasa bahwa keseimbangan tersebut akan rusak dan hanya akan menguntungkan pihak investor tambang tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat lokal. “Kami merasa kecewa dengan rencana pembangunan yang dinilai hanya menguntungkan investor tambang, bukan masyarakat setempat,” ucap Habib.
Penolakan ini diperkuat dengan fakta bahwa kawasan pesisir Soropia dan Lalonggasumeeto juga tengah berkembang menjadi destinasi pariwisata berbasis alam. Pesona laut jernih, gugusan terumbu karang yang cantik, serta hutan mangrove alami menjadikan kawasan ini daya tarik wisatawan lokal hingga mancanegara. Jika kualitas lingkungan laut rusak karena pembangunan pelabuhan dan aktivitas tambang, sektor pariwisata yang baru berkembang pun akan ikut terancam.
“Kawasan ini bukan hanya tempat mencari nafkah, tapi juga surga ekowisata. Jika rusak, kita kehilangan lebih dari sekadar laut, tapi juga masa depan,” jelas Habib Nadjar Buduha.
Masyarakat melalui Tim Konservasi Kima Tolitoli-Labengki tidak hanya menyuarakan penolakan, tetapi juga memberikan solusi alternatif. Mereka mengusulkan agar pelabuhan khusus ore nikel tersebut dipindahkan ke kawasan industri yang telah ditetapkan, yaitu di Kawasan Industri Sampara, Kecamatan Sampara. Wilayah tersebut dinilai lebih tepat dan aman untuk pengembangan industri tanpa harus mengorbankan ekosistem pesisir dan kehidupan warga.
“Seharusnya, semua investasi untuk kepentingan perindustrian masuk ke Kawasan Industri Konawe di Kecamatan Sampara. Proyek baru bukan malah merambah kawasan lain yang sangat nyata akan menghancurkan tatanan kehidupan yang telah terbentuk,” tegasnya.
Rencana pembangunan pelabuhan ini sebelumnya disampaikan oleh Bupati Konawe, Yusran Akbar, dalam acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Kabupaten Konawe yang digelar di Hotel Nugraha pada Kamis, 10 April 2025. Meski mendapat dukungan dari sebagian pemangku kepentingan di sektor industri, masyarakat Soropia berharap Pemkab Konawe mempertimbangkan kembali proyek tersebut, khususnya dampak ekologis dan sosialnya.
Penolakan terhadap proyek ini mencerminkan suara masyarakat yang mendambakan pembangunan berkelanjutan pembangunan yang tidak hanya berorientasi pada investasi dan pertumbuhan ekonomi jangka pendek, tetapi juga mempertimbangkan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat setempat dalam jangka panjang.
Kini harapan masyarakat tertuju pada pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait untuk mendengarkan aspirasi mereka. Suara protes yang diangkat bukanlah semata bentuk perlawanan, tetapi seruan untuk menjaga ruang hidup, sumber penghidupan, dan warisan ekologi yang telah dijaga selama puluhan tahun. Mereka ingin menjadi bagian dari pembangunan, bukan menjadi korbannya.