JAKARTA - Harga batu bara global kembali mengakhiri perdagangan April 2025 dengan sentimen positif. Meski menutup bulan di zona hijau, performa harga batu bara sepanjang April masih menunjukkan tren pelemahan yang cukup tajam akibat lemahnya permintaan dan membanjirnya pasokan global.
Berdasarkan data pasar ICE Newcastle, harga batu bara untuk kontrak pengiriman bulan depan ditutup pada level US$97,5 per ton pada Rabu, 30 April 2025. Harga tersebut naik tipis 0,26 persen dibandingkan penutupan sebelumnya. Namun, secara keseluruhan sepanjang bulan April, harga batu bara justru mencatatkan penurunan sebesar 5,34 persen.
Koreksi harga lebih dalam terjadi jika dilihat dari pergerakan sepanjang tahun berjalan. Sejak awal tahun 2025 (year-to-date), harga batu bara telah ambles sebesar 22,16 persen. Kondisi ini menggarisbawahi lemahnya kinerja salah satu komoditas energi utama dunia tersebut.
Anjloknya Permintaan Akibat Musim Dingin yang Lebih Hangat
Salah satu faktor utama pelemahan harga batu bara adalah turunnya permintaan dari negara-negara konsumen utama, terutama Tiongkok. Negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia tersebut mengalami musim dingin yang lebih hangat dari biasanya. Akibatnya, konsumsi listrik yang umumnya melonjak saat musim dingin menjadi relatif rendah.
Data menunjukkan bahwa dalam dua bulan pertama 2025, pembangkit listrik tenaga fosil di Tiongkok justru mencatatkan penurunan produksi sebesar 1,3 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Penurunan ini memberikan tekanan tambahan terhadap permintaan batu bara global yang selama ini banyak diserap untuk kebutuhan energi di sektor pembangkit listrik.
“Cuaca yang lebih hangat dari biasanya di Tiongkok menyebabkan penurunan permintaan batu bara untuk pembangkit listrik. Ini berdampak langsung terhadap pergerakan harga di pasar global,” demikian.
Produksi Melimpah di Tengah Lesunya Permintaan
Sementara dari sisi suplai, pasar batu bara global saat ini tengah dibanjiri pasokan dari negara-negara produsen utama. Indonesia, sebagai eksportir batu bara terbesar dunia, mencatatkan volume produksi yang sangat tinggi pada tahun lalu. Produksi batu bara Indonesia mencapai 836 juta ton pada 2024, atau meningkat 18 persen dari target nasional yang telah ditetapkan.
“Produksi batu bara kita (Indonesia) melonjak jauh di atas target, yang turut memperkuat tekanan suplai global,” ujar seorang analis energi dari Badan Kebijakan Fiskal.
Kondisi serupa juga terjadi di Tiongkok. Negara tersebut masih menjadi produsen batu bara terbesar dunia. Untuk tahun 2025, diperkirakan produksi batu bara Tiongkok mencapai 4,82 miliar ton, naik sekitar 1,5 persen dari tahun sebelumnya. Kenaikan ini turut menambah surplus pasokan global di tengah lemahnya permintaan.
Proyeksi Harga Mei: Peluang Rebound Secara Teknis
Meski pasar batu bara masih dibayangi tekanan dari sisi fundamental, sejumlah analis melihat adanya potensi rebound harga secara teknikal pada bulan Mei. Hal ini didukung oleh indikator teknikal yang menunjukkan kondisi jenuh jual (oversold), yang secara historis dapat membuka peluang pembalikan arah atau technical rebound.
Mengacu pada indikator Relative Strength Index (RSI) dalam kerangka waktu bulanan (monthly time frame), RSI harga batu bara tercatat sebesar 35,77. Angka ini berada jauh di bawah level netral 50, yang menandakan bahwa aset tengah berada dalam tren bearish.
Selain itu, indikator Stochastic RSI menunjukkan level yang lebih ekstrem. Stochastic RSI telah menyentuh angka 0, yang merupakan level terendah dan menandakan kondisi sangat jenuh jual. Dalam banyak kasus, kondisi ini sering menjadi sinyal awal adanya potensi pembalikan arah harga dalam waktu dekat.
“Secara teknikal, koreksi yang sangat dalam membuat harga batu bara berada di area jenuh jual. Ini membuka peluang terjadinya technical rebound dalam beberapa pekan ke depan,” ujar tim analis teknikal dari ICE Newcastle dalam laporan teknikal terbarunya.
Analis menyarankan untuk mencermati pivot point pada level US$101 per ton. Jika level tersebut dapat ditembus secara konsisten, maka harga batu bara berpeluang menguji level resistance berikutnya di kisaran US$108 per ton, yang juga merupakan garis rata-rata bergerak (moving average/MA) 5 hari.
Target resistance jangka menengah berada di level MA-10 sekitar US$126 per ton. Sementara itu, support terdekat yang perlu diwaspadai berada di level US$93 per ton. Jika harga turun menembus level ini, maka penurunan lebih dalam hingga ke level US$89 per ton bisa terjadi.
Sentimen Tambahan: Wacana Cukai Batu Bara Masih Menggantung
Selain faktor teknikal dan fundamental pasar, sentimen lain yang turut memengaruhi pergerakan harga batu bara adalah wacana kebijakan pemerintah terkait rencana penerapan cukai batu bara. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan beberapa waktu lalu mengungkapkan bahwa pihaknya tengah mengkaji kemungkinan pengenaan cukai terhadap batu bara sebagai bagian dari strategi transisi energi dan peningkatan pendapatan negara.
Namun, hingga kini belum ada keputusan final mengenai kebijakan tersebut. Dalam beberapa kesempatan, pejabat Kementerian Keuangan menyebut bahwa wacana itu masih dalam tahap pembahasan internal, dan belum akan diimplementasikan dalam waktu dekat.
“Pemerintah masih melakukan kajian komprehensif. Belum ada keputusan final terkait cukai batu bara,” tegas Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Kebijakan Fiskal, Kunta Wibawa Dasa Nugraha, dalam sebuah konferensi pers di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Wacana ini telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku industri tambang batu bara dalam negeri. Para penambang menilai bahwa kebijakan cukai akan semakin menekan margin keuntungan mereka, terutama di tengah tren penurunan harga global seperti saat ini.
“Jika cukai diberlakukan saat harga sedang turun seperti sekarang, tentu itu akan menjadi pukulan berat bagi kami,” ujar perwakilan Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia.
Dengan harga batu bara yang terpuruk sepanjang tahun dan permintaan global yang belum pulih sepenuhnya, pelaku pasar kini mengandalkan potensi rebound teknikal untuk menopang harga pada Mei 2025. Namun, faktor-faktor fundamental seperti cuaca, produksi global, dan kebijakan fiskal akan tetap menjadi penentu utama arah pasar ke depan.
Meskipun pasar tampak pesimis dari sisi permintaan, indikator teknikal membuka peluang perbaikan harga dalam waktu dekat. Para investor dan pelaku industri kini menantikan apakah Mei akan menjadi bulan kebangkitan batu bara atau justru menjadi babak baru penurunan harga yang lebih dalam.