JAKARTA - Transisi energi di Indonesia kembali menuai kritik tajam. Di tengah janji pemerintah untuk mencapai target nol emisi karbon (net zero emission/NZE) pada tahun 2050, berbagai pihak menilai bahwa arah kebijakan yang diambil justru kontraproduktif. Salah satu sorotan utama adalah rencana besar-besaran untuk menjadikan pembangkit listrik tenaga gas fosil sebagai energi transisi. Kebijakan ini dipandang sebagai solusi palsu yang bukan hanya menyesatkan arah transisi energi, tetapi juga mengancam kesehatan publik, merugikan ekonomi, dan memperburuk krisis iklim.
Gas Fosil: Solusi Palsu Dalam Selubung Transisi Energi
Pemerintah secara terbuka mendorong penggunaan gas sebagai bagian dari skenario energi transisi menuju sumber yang lebih bersih. Namun, pandangan ini tidak sepenuhnya diterima. Gas fosil tetap tergolong bahan bakar fosil yang menghasilkan emisi rumah kaca, bahkan dalam skenario penggunaan terbaik sekalipun. Alih-alih mempercepat pengurangan emisi, pembangunan infrastruktur gas justru memperpanjang ketergantungan pada energi kotor.
Dampak lingkungan dari pembangunan pembangkit listrik tenaga gas sangat signifikan. Dengan rencana ekspansi kapasitas hingga 22 gigawatt (GW), emisi karbon dioksida (CO₂) diperkirakan akan meningkat hingga 49,02 juta ton per tahun. Tak hanya itu, gas metana (CH₄) – gas rumah kaca yang jauh lebih kuat dari CO₂ – juga akan bertambah sebesar 43.768 ton per tahun. Peningkatan emisi ini jelas bertentangan dengan semangat transisi ke energi bersih.
Beban Kesehatan dan Ekonomi yang Tak Terelakkan
Selain dampak terhadap lingkungan, penggunaan gas fosil juga menimbulkan beban besar terhadap sistem kesehatan masyarakat. Dalam jangka waktu 15 tahun, pembangkit gas fosil diperkirakan menimbulkan beban biaya kesehatan antara Rp89,8 triliun hingga Rp249,8 triliun. Beban ini timbul dari meningkatnya risiko penyakit pernapasan, jantung, serta gangguan kesehatan lain akibat paparan polusi udara.
Dari sisi ekonomi, keberadaan PLTG (Pembangkit Listrik Tenaga Gas) juga justru menjadi penghambat pertumbuhan. Alih-alih memberikan stimulus terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), penggunaan gas fosil diperkirakan menurunkan output ekonomi nasional sebesar Rp941,4 triliun secara akumulatif hingga 2040. Bahkan teknologi siklus gabungan yang lebih efisien pun tetap menyebabkan kerugian ekonomi sebesar Rp280,9 triliun.
Dampak negatif juga terlihat dari sisi ketenagakerjaan. Pembangunan dan pengoperasian PLTG dalam skenario saat ini berpotensi menurunkan serapan tenaga kerja hingga 6,7 juta orang. Ini terjadi akibat gangguan terhadap sektor-sektor produktif seperti kelautan dan perikanan yang terdampak oleh pencemaran serta alih fungsi lahan dan wilayah pesisir.
Energi Terbarukan: Jalan Keluar yang Lebih Menjanjikan
Di sisi lain, jika Indonesia fokus pada pengembangan energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin, proyeksi ekonomi menunjukkan arah yang sangat berbeda. Energi terbarukan memiliki potensi untuk menyumbang Rp2.627 triliun terhadap ekonomi nasional pada 2040. Selain itu, skenario pengembangan pembangkit energi terbarukan berbasis komunitas juga mampu membuka hingga 20 juta lapangan kerja baru di seluruh Indonesia.
Energi terbarukan tak hanya bersih, tetapi juga memberikan dampak berganda secara ekonomi dan sosial. Pengembangan industri panel surya, turbin angin, serta sistem penyimpanan energi membuka peluang baru bagi perekonomian daerah. Lebih jauh lagi, keberadaan energi bersih juga mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor energi dan meningkatkan ketahanan energi nasional.
Ketidakkonsistenan Kebijakan Energi Nasional
Ironisnya, di tengah retorika transisi hijau, pemerintah justru memprioritaskan pendanaan untuk proyek migas, termasuk dari lembaga keuangan milik negara. Proyek-proyek gas fosil kini dimasukkan ke dalam rencana jangka menengah dan panjang dalam dokumen perencanaan energi nasional seperti Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034. Ini menunjukkan adanya kontradiksi besar antara komitmen nol emisi dan kebijakan nyata di lapangan.
Komitmen politik yang seharusnya mendorong transformasi energi justru terjebak dalam ketergantungan terhadap model pembangunan berbasis energi fosil. Keterlibatan teknologi seperti Carbon Capture Storage (CCS) atau Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) pun belum menunjukkan efektivitas secara luas dan dinilai hanya memperpanjang umur pembangkit kotor, bukan menghilangkannya.
Rekomendasi Jalan Keluar: Stop PLTG, Fokus Energi Terbarukan
Untuk keluar dari jebakan energi fosil, sejumlah rekomendasi mendesak diajukan. Pertama, pemerintah perlu segera membatalkan seluruh rencana penambahan pembangkit gas fosil yang tercantum dalam RUPTL 2025–2034. Kedua, penyusunan Peta Jalan Pemensiunan PLTG dan semua pembangkit berbasis bahan bakar fosil menjadi prioritas utama dalam kebijakan energi jangka panjang.
Ketiga, investasi dan kebijakan fiskal harus diarahkan ke pengembangan energi terbarukan yang cepat dan masif, terutama tenaga surya dan angin. Keempat, pemerintah perlu memperkuat infrastruktur jaringan listrik agar mampu mendistribusikan listrik dari sumber terbarukan secara efisien, merata, dan andal.
Kelima, regulasi dan skema insentif harus mendukung peran masyarakat dan komunitas lokal dalam mengembangkan pembangkit energi bersih skala kecil. Pendekatan desentralisasi energi ini telah terbukti mampu menciptakan lapangan kerja, memperkuat ekonomi lokal, dan memberikan akses listrik bagi wilayah terpencil.
Momentum yang Tak Boleh Dilewatkan
Indonesia berada pada titik kritis dalam menentukan arah masa depan energinya. Pilihan untuk terus mempertahankan energi fosil, meskipun dibungkus sebagai “transisi”, hanya akan memperparah krisis iklim, merugikan ekonomi, dan mengorbankan kesehatan masyarakat.
Sebaliknya, peralihan tegas dan konsisten ke energi terbarukan membuka peluang luar biasa: menciptakan jutaan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan, dan menjaga lingkungan untuk generasi mendatang. Ini bukan hanya soal pilihan teknologi, tetapi tentang keberanian politik dan komitmen terhadap masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan.