JAKARTA - Harga komoditas global mengalami pergerakan yang bervariasi pada penutupan perdagangan Senin, 5 Mei 2025. Salah satu sorotan utama adalah anjloknya harga minyak mentah dunia setelah keputusan mengejutkan dari OPEC+ yang memutuskan untuk mempercepat peningkatan produksi. Sementara itu, komoditas lainnya seperti nikel masih mencatatkan kenaikan, sedangkan harga batu bara dan timah relatif stabil. Di sisi lain, Crude Palm Oil (CPO) atau minyak kelapa sawit juga mengalami penurunan.
Pergerakan harga ini menambah ketidakpastian pasar komoditas global yang sudah tertekan oleh fluktuasi permintaan, geopolitik, dan dinamika produksi dari negara-negara penghasil utama.
Harga Minyak Anjlok ke Level Terendah Sejak 2021
Harga minyak mentah dunia mencatatkan penurunan tajam lebih dari USD 1 per barel, dipicu oleh keputusan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya (OPEC+) untuk mempercepat peningkatan produksi. Keputusan ini memicu kekhawatiran pasar akan melimpahnya pasokan global di tengah permintaan yang belum sepenuhnya pulih pascapandemi.
Minyak mentah Brent ditutup di level USD 60,23 per barel, melemah USD 1,06 atau turun 1,7 persen. Sementara itu, minyak mentah berjangka jenis West Texas Intermediate (WTI) asal Amerika Serikat ditutup pada USD 57,13 per barel, turun USD 1,16 atau 2 persen.
Penurunan ini menandai level penutupan terendah untuk kedua acuan harga minyak sejak Februari 2021.
Seorang analis energi menyebut bahwa keputusan OPEC+ cukup mengejutkan pasar, mengingat banyak pihak sebelumnya memperkirakan bahwa produksi akan tetap ditahan hingga pertengahan tahun guna menjaga kestabilan harga.
“Langkah OPEC+ untuk mempercepat produksi mencerminkan tekanan internal dalam organisasi itu sendiri, tetapi ini berisiko menekan harga lebih jauh jika permintaan global tidak mampu menyerap tambahan pasokan tersebut,” ujarnya.
Harga Batu Bara Masih Stabil, Daya Tahan Pasar Energi Fosil
Berbeda dengan harga minyak, harga batu bara tercatat stabil pada perdagangan Senin (5/5). Berdasarkan bursa ICE Newcastle Australia, harga batu bara kontrak pengiriman Juni 2025 berada di kisaran USD 102,35 per ton.
Stabilitas harga batu bara ini menunjukkan bahwa pasar masih menilai komoditas ini memiliki permintaan yang relatif kuat, terutama dari negara-negara berkembang yang masih menggantungkan pembangkit listriknya pada energi berbasis batu bara.
Permintaan dari kawasan Asia, seperti India dan beberapa negara ASEAN, turut menopang harga di tengah tekanan transisi energi global menuju sumber yang lebih ramah lingkungan.
CPO Turun, Industri Kelapa Sawit Tertekan
Harga Crude Palm Oil (CPO) juga mencatatkan pelemahan pada perdagangan Senin. Berdasarkan data perdagangan, harga CPO turun sebesar 1,03 persen menjadi MYR 3.827 per ton.
Pelemahan harga ini dipicu oleh beberapa faktor, antara lain kekhawatiran terhadap penurunan permintaan dari negara tujuan ekspor utama seperti India dan China, serta meningkatnya stok di beberapa negara produsen seperti Malaysia dan Indonesia.
Pelaku industri kelapa sawit menyebut bahwa volatilitas harga dalam beberapa minggu terakhir cukup mencemaskan. “Kami berharap ada kebijakan fiskal dan ekspor yang lebih adaptif untuk menjaga keseimbangan pasar,” ujar seorang pengusaha sawit.
Nikel Masih Tunjukkan Penguatan
Di tengah tren negatif beberapa komoditas energi, nikel justru mencatatkan kenaikan harga. Pada penutupan perdagangan Jumat (2/5), harga nikel naik 0,49 persen menjadi USD 15.601 per ton.
Kenaikan harga nikel ini ditopang oleh meningkatnya permintaan dari sektor kendaraan listrik (EV) dan energi baru terbarukan. Nikel merupakan bahan utama dalam produksi baterai lithium-ion, yang merupakan komponen vital dalam mobil listrik.
“Permintaan jangka panjang terhadap nikel masih sangat kuat, apalagi dengan agresifnya kebijakan transisi energi bersih di berbagai negara,” ujar analis logam industri.
Indonesia, sebagai produsen nikel terbesar di dunia, diuntungkan dengan tren ini. Namun demikian, tantangan masih ada pada pengolahan bahan mentah dan hilirisasi industri dalam negeri agar nilai tambah tetap terjaga.
Timah Bertahan di Tengah Tekanan Pasar
Sementara itu, harga timah terpantau stabil. Berdasarkan data London Metal Exchange (LME), harga timah pada penutupan Senin (5/5) berada di level USD 30.698 per ton.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pasar logam industri seperti timah masih memiliki ketahanan tersendiri meski kondisi ekonomi global belum sepenuhnya pulih.
Timah masih banyak digunakan dalam industri solder, elektronik, dan pelapisan logam, menjadikannya komoditas strategis dalam sektor teknologi dan manufaktur.
Ketidakpastian Global Bayangi Pasar Komoditas
Secara keseluruhan, pasar komoditas saat ini masih berada dalam tekanan akibat kombinasi faktor geopolitik, kebijakan produksi negara-negara penghasil, dan ketidakpastian prospek permintaan global.
Kondisi ini memerlukan kehati-hatian baik dari investor, pemerintah, maupun pelaku industri dalam membaca arah pasar serta merumuskan strategi perdagangan dan investasi.
Analis ekonomi menyatakan bahwa fluktuasi ini akan terus terjadi sepanjang 2025, terutama bila ketegangan geopolitik dan ketidakpastian ekonomi global belum menemukan titik keseimbangan.
“Pelemahan harga minyak bisa menguntungkan negara-negara importir energi, tapi akan memukul negara produsen. Sebaliknya, komoditas seperti nikel menjadi indikator arah transisi energi global, dan bisa menjadi peluang strategis jika dikelola dengan baik,” ujarnya.
Fluktuasi harga komoditas yang terjadi pada awal Mei 2025 menjadi cerminan dinamika pasar global yang terus berubah. Sektor-sektor yang terdampak seperti energi, logam industri, dan pertanian harus mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan ini.
Pemerintah dan pelaku industri dituntut untuk lebih responsif dalam mengelola dampak ekonomi dari gejolak harga, termasuk melalui diversifikasi pasar, peningkatan nilai tambah produk, serta perlindungan terhadap pelaku usaha kecil yang paling rentan terdampak.
Sementara itu, konsumen dan investor global akan terus memantau pergerakan harga-harga komoditas utama ini sebagai indikator penting arah perekonomian dunia. Apakah tren penurunan ini akan berlanjut atau mulai pulih dalam beberapa bulan ke depan, sangat bergantung pada kondisi geopolitik, stabilitas pasokan, serta permintaan global yang masih dalam fase pemulihan.