Minyak

Harga Minyak Dunia Meroket Akibat Lonjakan Permintaan dan Melemahnya Dolar AS

Harga Minyak Dunia Meroket Akibat Lonjakan Permintaan dan Melemahnya Dolar AS
Harga Minyak Dunia Meroket Akibat Lonjakan Permintaan dan Melemahnya Dolar AS

JAKARTA - Harga minyak mentah dunia mengalami lonjakan signifikan pada perdagangan Selasa, 6 Mei 2025. Kenaikan ini dipicu oleh peningkatan tajam permintaan bahan bakar, terutama dari Tiongkok, serta pelemahan nilai tukar dolar Amerika Serikat yang turut memperkuat posisi komoditas energi di pasar global. Sentimen positif ini mendorong harga minyak mentah acuan West Texas Intermediate (WTI) dan Brent melonjak lebih dari 3 persen dalam sehari.

Di bursa New York Mercantile Exchange, harga minyak WTI untuk kontrak pengiriman Juni 2025 tercatat naik sebesar US$1,96 per barel atau sekitar 3,4 persen menjadi US$59,09 per barel. Sementara itu, di London ICE Futures Exchange, harga minyak mentah Brent yang juga untuk pengiriman Juni 2025 meningkat sebesar US$1,92 atau sekitar 3,2 persen menjadi US$62,15 per barel. Kenaikan ini mencerminkan optimisme pasar terhadap pemulihan permintaan global, terutama dari kawasan Asia.

Pendorong utama lonjakan harga minyak ini adalah peningkatan permintaan bahan bakar minyak (BBM) dari Tiongkok. Negeri Tirai Bambu itu mengalami lonjakan mobilitas selama masa libur panjang Hari Buruh atau May Day yang berlangsung pada awal Mei. Selama masa libur tersebut, jutaan warga Tiongkok melakukan perjalanan lintas provinsi, yang secara langsung meningkatkan konsumsi energi, khususnya BBM.

Data dari otoritas transportasi Tiongkok mengungkapkan bahwa selama masa liburan tersebut tercatat sekitar 1,467 miliar perjalanan dilakukan secara nasional. Rata-rata jumlah perjalanan harian mencapai 293 juta, yang berarti terjadi kenaikan sekitar 8 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Aktivitas ini dianggap sebagai sinyal kuat bahwa konsumsi energi domestik mulai pulih secara signifikan, seiring meningkatnya mobilitas dan aktivitas masyarakat.

Seorang analis energi menyatakan bahwa lonjakan permintaan dari Tiongkok telah menjadi katalis utama dalam pergerakan harga minyak saat ini. "Tiongkok tetap menjadi motor utama konsumsi energi global. Setiap indikasi pemulihan permintaan dari negara tersebut langsung direspon pasar dengan sangat positif," ujarnya.

Di sisi lain, pelemahan dolar AS turut memperkuat reli harga minyak. Komoditas seperti minyak mentah yang diperdagangkan menggunakan mata uang dolar menjadi lebih murah bagi negara lain yang menggunakan mata uang berbeda, sehingga turut meningkatkan permintaan global. Ketika dolar melemah, investor dan pembeli dari luar Amerika Serikat lebih terdorong untuk membeli minyak karena nilai tukar lebih menguntungkan.

Dalam perdagangan global, fluktuasi nilai tukar sangat memengaruhi harga komoditas, dan pada periode ini dolar AS menunjukkan tren penurunan akibat ekspektasi bahwa Federal Reserve tidak akan menaikkan suku bunga dalam waktu dekat. Kebijakan suku bunga yang lebih longgar membuat dolar tertekan, sehingga mendongkrak harga aset-aset komoditas seperti minyak mentah.

Kombinasi dari dua faktor utama tersebut—peningkatan permintaan dari Tiongkok dan pelemahan dolar mendorong investor kembali mengakumulasi posisi beli di pasar minyak. Para pelaku pasar memproyeksikan bahwa tren permintaan akan terus meningkat dalam beberapa bulan ke depan, seiring pemulihan ekonomi global dan membaiknya sektor transportasi serta industri.

Peningkatan harga minyak ini juga memberikan dampak domino terhadap harga BBM di berbagai negara. Di Indonesia, misalnya, harga BBM nonsubsidi seperti Pertamax dan Dexlite juga telah mengalami penyesuaian menyusul dinamika harga minyak mentah dunia. Meski saat ini harga BBM di dalam negeri mengalami penurunan karena kebijakan penyesuaian dari Pertamina, tidak menutup kemungkinan harga kembali bergerak jika harga minyak mentah internasional terus merangkak naik dalam waktu dekat.

Sementara itu, analis lainnya menyebutkan bahwa pasar masih akan bersifat fluktuatif tergantung pada perkembangan geopolitik dan data ekonomi lanjutan. “Meskipun saat ini sentimen pasar cukup kuat didorong permintaan dan pelemahan dolar, investor tetap akan memperhatikan kebijakan OPEC+, potensi gangguan pasokan, serta laporan cadangan minyak dari Amerika Serikat,” ujarnya.

Pasar energi global kini berada dalam fase pemulihan bertahap pasca-pandemi dan ketegangan geopolitik di beberapa kawasan. Negara-negara produsen minyak, khususnya yang tergabung dalam OPEC+, masih memegang peranan besar dalam menjaga keseimbangan pasokan. Kebijakan produksi yang diambil oleh negara-negara ini dalam beberapa waktu ke depan akan menjadi kunci arah harga minyak secara global.

Di tengah situasi ini, investor dan pelaku industri diimbau untuk terus memantau pergerakan harga minyak dunia, termasuk tren konsumsi dari negara-negara besar seperti Tiongkok, India, dan Amerika Serikat. Sektor transportasi, logistik, dan energi akan sangat terpengaruh oleh volatilitas ini, baik dari sisi biaya operasional maupun perencanaan jangka panjang.

Dari sisi ekonomi makro, lonjakan harga minyak bisa berdampak pada inflasi, terutama di negara-negara pengimpor minyak. Jika tren kenaikan harga berlanjut dan tidak diimbangi dengan kenaikan produksi, maka tekanan terhadap harga barang dan jasa dapat meningkat. Hal ini perlu diantisipasi oleh pemerintah dan otoritas fiskal di berbagai negara.

Dengan kenaikan harga minyak yang terjadi saat ini, terlihat jelas bahwa pasar energi global masih sangat rentan terhadap dinamika ekonomi dan geopolitik. Permintaan tinggi dari negara dengan konsumsi besar seperti Tiongkok dan faktor nilai tukar menjadi penentu utama arah pergerakan harga dalam jangka pendek. Bagi konsumen dan pelaku usaha, pemahaman terhadap dinamika ini menjadi penting agar dapat menyusun strategi yang tepat dalam mengelola dampak fluktuasi harga energi.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index