Bank Indonesia

Bank Indonesia Ubah Arah, Investor Tinggalkan SRBI

Bank Indonesia Ubah Arah, Investor Tinggalkan SRBI
Bank Indonesia Ubah Arah, Investor Tinggalkan SRBI

JAKARTA - Kebijakan moneter yang mulai longgar membuat investor asing mulai beralih dari instrumen jangka pendek yang dulunya sangat digemari. Salah satu korban pergeseran ini adalah Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), instrumen yang sebelumnya menjadi favorit banyak pihak.

Sejak pertengahan 2023 SRBI digadang-gadang sebagai instrumen penting dalam menjaga stabilitas moneter. BI mengeluarkan SRBI dengan tenor pendek dan tingkat imbal hasil tinggi, menarik modal asing masuk ke Indonesia, memperkuat cadangan devisa dan kurs rupiah.

Tahun 2024 menjadi puncaknya ketika SRBI mencatat net inflow asing sebesar Rp 161,99 triliun. Angka ini jauh melampaui aliran modal ke surat berharga negara (SBN) dan saham pada periode yang sama.

Namun, tren tersebut berbalik pada 2025. Hingga 18 September, investor asing telah melakukan net sell SRBI senilai Rp 119,62 triliun. Alhasil, SRBI yang dulu jadi andalan investor kini mulai ditinggalkan.

Suku Bunga dan Likuiditas Sekunder: Penentu Utama Perubahan

Pasalnya, Bank Indonesia telah menurunkan BI-Rate dan mengatur ulang kerangka operasi moneternya agar lebih berpihak pada pasar. Akibatnya, imbal hasil instrumen jangka pendek seperti SRBI mulai kehilangan daya tariknya.

Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata, mengatakan bahwa investor kini lebih memilih instrumen berjangka panjang seperti SBN yang memberikan peluang capital gain saat siklus pelonggaran berlanjut.

Turunnya supply dan aktifitas perdagangan SRBI di pasar sekunder juga menjadi faktor. Dengan likuiditas yang menipis, banyak manajer dana asing menutup posisi, memilih aset yang lebih stabil dalam jangka waktu dan biaya lindung nilai yang lebih terkendali.

Kombinasi lainnya adalah biaya hedging valuta asing yang makin tinggi melalui instrumen seperti DNDF dan FX swap, yang membuat biaya keseluruhan berinvestasi di instrumen Rupiah menjadi kurang menarik.

Rotasi Aset: Dari SRBI ke SBN dan Instrumen Lain

Peralihan preferensi tidak hanya terjadi karena imbal hasil SRBI menurun. Investor juga merespon dinamika global — dari kebijakan tarif dagang AS, fluktuasi dolar AS, hingga aliran modal internasional yang lebih berhati-hati.

SRBI yang periode sebelumnya mengandalkan yield tinggi kini harus bersaing dengan ekspektasi yang berubah. Investor kini mengincar instrumen dengan potensi kenaikan nilai (capital gain), bukan hanya imbal hasil langsung saja.

Menurut Josua, SRBI masih relevan sebagai alat operasi moneter: menjaga transmisi BI-Rate ke pasar uang, menjaga likuiditas rupiah, dan mendukung stabilisasi kurs melalui instrumen pelengkap seperti SVBI, DNDF, dan intervensi spot.

Tapi jelas, SRBI tidak lagi menjadi magnet utama arus modal asing seperti tahun 2024. Rotasi ke SBN dan cash menjadi wajar dalam situasi ketika premi imbal hasil jangka pendek makin menyusut.

Implikasi bagi Kebijakan dan Industri Keuangan

Perubahan minat investor terhadap SRBI menuntut Bank Indonesia untuk menyesuaikan instrumen stabilisasi rupiah. BI harus mengandalkan bauran instrumen yang lebih fleksibel dan responsif terhadap kondisi pasar.

Bagi pelaku keuangan dan manajer investasi, pergeseran ini juga berarti strategi portofolio harus dirancang ulang. Fokus tidak lagi hanya pada jangka pendek, tapi bagaimana memadukan instrumen dengan durasi panjang dan risiko yang lebih terkendali.

Dalam hal ini, kendali likuiditas, supply SRBI, serta transparansi pasar sekunder menjadi elemen penting yang perlu diperkuat. Instrumen pelindung nilai valas dan strategi hedging juga menjadi semakin relevan.

Lebih jauh, dominasi asing di pasar modal jangka pendek di Indonesia mungkin akan berkurang seiring kurang menariknya SRBI, tetapi bisa diimbangi bila pasar obligasi dan instrumen jangka panjang menawarkan imbal hasil yang kompetitif.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index