Energi

Yulian Gunhar Dorong Penataan Ulang Subsidi Energi demi Keadilan Sosial dan Efisiensi Anggaran

Yulian Gunhar Dorong Penataan Ulang Subsidi Energi demi Keadilan Sosial dan Efisiensi Anggaran
Yulian Gunhar Dorong Penataan Ulang Subsidi Energi demi Keadilan Sosial dan Efisiensi Anggaran

JAKARTA - Pemerintah Indonesia kembali mendapatkan sorotan tajam terkait kebijakan subsidi energi. Anggota Komisi XII DPR RI, Yulian Gunhar, mendesak pemerintah untuk menata ulang sistem subsidi energi secara menyeluruh karena dinilai belum tepat sasaran dan lemah dalam pengawasan.

Gunhar menilai bahwa sistem distribusi subsidi energi yang ada saat ini masih jauh dari ideal. Ia menyoroti bahwa kendati anggaran subsidi energi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencapai angka yang fantastis, realisasi di lapangan menunjukkan banyak persoalan, terutama dalam hal akurasi data penerima manfaat.

“Alokasi subsidi energi kita luar biasa besar, namun implementasinya belum menjamin keadilan sosial. Masih banyak yang tidak berhak tapi menikmati, sementara yang layak justru tidak tersentuh,” tegas Yulian Gunhar.

Anggaran Raksasa, Tapi Ketimpangan Masih Terjadi

Dalam APBN 2024, subsidi energi mencapai sekitar Rp330 triliun. Sementara untuk tahun 2025, pemerintah tetap mengalokasikan dana besar sebesar Rp203,4 triliun, terdiri dari subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan liquefied petroleum gas (LPG) sebesar Rp113,6 triliun, serta subsidi listrik Rp90,2 triliun.

Secara lebih rinci, untuk subsidi BBM, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp26,7 triliun untuk 19,41 juta kiloliter, yang terdiri atas minyak tanah dan solar. Adapun subsidi untuk LPG tercatat sebanyak 8,2 juta metrik ton. Menurut Gunhar, angka itu bahkan melampaui pagu anggaran tahun ini yang hanya sebesar Rp85,6 triliun.

“Ini angka yang luar biasa besar. Tapi faktanya di lapangan tidak menunjukkan keberpihakan yang konsisten pada masyarakat rentan,” katanya.

Ketidaktepatan Sasaran Akibat Lemahnya Data

Salah satu akar permasalahan subsidi energi, menurut Gunhar, terletak pada lemahnya akurasi dan validasi data penerima. Ia mencontohkan situasi di mana ratusan ribu orang kehilangan pekerjaan dalam lima bulan terakhir, namun belum terdata sebagai penerima subsidi.

“Sekitar 100 ribu orang kehilangan pekerjaan dalam lima bulan terakhir. Mereka awalnya mungkin tidak termasuk golongan miskin, tapi sekarang layak mendapat subsidi. Masalahnya, sistem kita belum responsif terhadap dinamika sosial seperti ini,” ujarnya.

Gunhar juga menyoroti bahwa penyaluran subsidi masih bergantung pada sistem pendaftaran berbasis KTP, bukan pada mekanisme verifikasi real-time terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Ini menurutnya menjadi celah besar dalam pelaksanaan subsidi yang adil.

“Ketika orang yang mampu masih menikmati subsidi, itu berarti prinsip keadilan sosial sedang dilanggar,” ujarnya.

Digitalisasi Melalui MyPertamina Belum Sepenuhnya Efektif

Pemerintah melalui Pertamina telah mengupayakan digitalisasi penyaluran subsidi dengan melibatkan aplikasi MyPertamina. Dalam laporan yang disampaikan kepada Komisi XII DPR RI, diketahui bahwa LPG 3 kg kini telah 100 persen terhubung dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK), biosolar menggunakan QR code secara penuh, dan pertalite 99,98 persen juga telah terintegrasi dengan QR code.

Namun, Gunhar menilai bahwa penerapan sistem ini masih memerlukan evaluasi serius, terutama dari segi dampaknya terhadap masyarakat kecil.

“Digitalisasi ini tentu punya tujuan baik. Tapi pelaksanaannya harus kita evaluasi. Apakah aplikasi MyPertamina memberi dampak positif atau justru menambah beban masyarakat? Apakah sistem ini benar-benar mempermudah, atau justru menyulitkan rakyat dalam mengakses subsidi?” ujarnya mempertanyakan.

Menurutnya, banyak keluhan dari masyarakat terkait efektivitas penggunaan aplikasi dan teknologi ini, terutama bagi warga di daerah terpencil yang akses internet dan pemahaman teknologinya masih terbatas.

Subsidi Harus Menjadi Alat Pemerataan Sosial

Legislator dari Fraksi PDI Perjuangan ini menegaskan bahwa persoalan subsidi energi bukan hanya menyangkut distribusi barang, tetapi menyentuh prinsip-prinsip keadilan sosial yang diamanatkan oleh konstitusi. Subsidi, katanya, seharusnya menjadi instrumen pemerataan ekonomi dan perlindungan bagi masyarakat rentan, bukan celah untuk penyimpangan kebijakan.

“Kita harus kembali pada prinsip itu. Subsidi harus menjadi alat pemerataan dan perlindungan sosial, bukan celah penyimpangan,” tegas Gunhar.

Ia mengingatkan bahwa dalam konteks keadilan sosial, negara wajib hadir dan memastikan bahwa setiap kebijakan subsidi berpihak pada rakyat kecil. Dalam praktiknya, lanjut Gunhar, seringkali masih ditemukan ketidaksesuaian antara tujuan dan realisasi di lapangan.

“Isu subsidi bukan semata hubungan antara pangkalan dan agen distribusi, tapi menyangkut nasib rakyat kecil yang menggantungkan hidupnya pada bantuan negara,” katanya lagi.

Pentingnya Evaluasi Menyeluruh dan Reformasi Kebijakan

Gunhar mengajak seluruh pemangku kepentingan, baik eksekutif maupun legislatif, untuk duduk bersama dan mengevaluasi ulang sistem subsidi energi nasional. Menurutnya, penataan ulang bukan berarti mengurangi anggaran subsidi, tapi memperbaiki arah dan tujuan agar lebih tepat sasaran.

“Reformasi kebijakan subsidi energi menjadi sangat penting. Tidak cukup hanya mengandalkan digitalisasi, tapi harus ada integrasi data yang kuat, verifikasi lapangan yang rutin, serta pembinaan terhadap lembaga-lembaga penyalur di daerah,” kata Gunhar.

Ia juga meminta pemerintah untuk lebih serius dalam membenahi ekosistem subsidi, termasuk memperkuat regulasi, sanksi terhadap penyalahgunaan, serta pengawasan oleh lembaga yang independen.

Wujudkan Subsidi yang Berkeadilan

Desakan Yulian Gunhar ini menjadi alarm keras bagi pemerintah bahwa reformasi subsidi energi harus segera diwujudkan. Dengan anggaran yang sangat besar, subsidi tidak bisa dibiarkan berjalan dalam sistem yang lemah. Setiap rupiah subsidi harus menjangkau masyarakat yang benar-benar membutuhkan, bukan malah memperkaya kelompok yang sudah mapan.

“Kita ingin subsidi ini menjadi alat keberpihakan negara kepada rakyat miskin dan rentan. Kalau sistemnya masih bocor dan tidak akurat, maka itu harus kita benahi bersama,” pungkasnya.

Dengan wacana penataan ulang subsidi yang semakin mengemuka, publik kini menanti langkah konkret pemerintah untuk membuktikan keberpihakan mereka terhadap keadilan sosial dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index